Kamis 07 Mar 2024 14:57 WIB

China, Perempuan, dan Upaya Mengontrol Populasi

Kebijakan China tentang dedikasi perempuan untuk bereproduksi selalu picu perdebatan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
China National Museum of Women and Children
Foto: Koryo tours
China National Museum of Women and Children

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pada awal 2010, China resmi membuka China National Museum of Women and Children atau Museum Nasional Perempuan dan Anak-Anak. Ia menjadi museum nasional pertama yang menyajikan dokumentasi sejarah tentang perubahan sosial terkait perempuan dan anak-anak di Negeri Tirai Bambu. Baru-baru ini, Republika berkesempatan mengunjungi museum tersebut.  

Terletak di sisi utara jalur utama Jalan Chang’an Timur di pusat kota Beijing, Museum Nasional Perempuan dan Anak-Anak China dibangun di atas lahan seluas 35 ribu meter persegi. Bangunannya menampilkan elemen arsitektur kontemporer dengan dominasi panel kaca di bagian muka. Sementara langit-langit bangunannya terdiri dari sejumlah pilar yang dibuat melengkung untuk melambangkan kelembutan dan pesona perempuan. Ruang pameran juga mengusung gaya modern dengan tata pencahayaan artistik.

Baca Juga

Museum Nasional Perempuan dan Anak-Anak dimaksudkan menjadi sumber utama data mengenai sejarah perempuan dan anak-anak di China serta pencapaian Beijing dalam upaya memajukan pembangunan mereka. Di dalam museum, terdapat banyak artefak budaya yang berkaitan dengan kehidupan perempuan dan anak-anak China di masa silam. Museum juga menampilkan bagaimana pemimpin China, mulai dari Mao Zedong hingga Xi Jinping, berusaha memajukan perkembangan perempuan dan anak-anak di negaranya.

Meski memiliki museum yang didedikasikan khusus untuk kaum perempuan, kebijakan China terkait perempuan selalu memantik perdebatan di dunia luar, khususnya terkait bagaimana mereka harus bereproduksi. Dan hal ini tak muncul di Museum Nasional Perempuan dan Anak-Anak.

Selama 35 tahun, yakni sejak 1980 hingga 2015, China menerapkan kebijakan satu anak untuk setiap keluarga guna mengendalikan pertumbuhan populasi. Kebijakan tersebut sangat disorot oleh aktivis-aktivis perempuan. Sebab menurut mereka hal itu telah “memaksa” jutaan perempuan di sana menggunakan kontrasepsi, bahkan melakukan sterilisasi dan aborsi. Pemerintah China memperkirakan, kebijakan satu anak mencegah sekitar 400 juta kelahiran. Namun sejumlah analis memperdebatkan angka tersebut.

Selepas 2015, China mengambil kebijakan 180 derajat berbeda. Mereka justru mendorong warganya memiliki dua anak. Pada 2021, China bahkan resmi mengizinkan keluarga memiliki hingga tiga anak. Kebijakan-kebijakan tersebut bertujuan meningkatkan angka kelahiran karena China mengalami penurunan jumlah populasi.

Meski sudah memberlakukan kebijakan demikian, angka kelahiran di China masih rendah. Tingginya biaya penitipan anak dan pendidikan membuat banyak pasangan di China enggan memiliki anak. Sementara ketidakpastian pasar kerja membuat perempuan menolak berhenti meniti karier.

Total penduduk di negara itu....

 

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement