REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO — Seorang akademisi Jepang, Kayyim Naoki Yamamoto, mengatakan, sentimen anti-Muslim meningkat di Jepang setelah serangan Israel di Gaza. Ujaran kebencian terhadap Muslim pun, kata dia, telah meningkat dengan meningkatnya suara partai-partai sayap kanan di Jepang.
Menurut anggota Institut Studi Turki Universitas Marmara ini, xenophobia atau kebencian terhadap orang asing di Jepang sudah ada sejak bertahun-tahun lalu. Hanya saja belakangan ini sentimen itu berubah menjadi anti-Muslim setelah serangan Israel di Gaza.
Yamamato, yang diperkenalkan ke Islam 15 tahun yang lalu dan telah melanjutkan studi akademisnya di Turki selama bertahun-tahun, mengatakan Jepang saat ini sedang mengalami perubahan negatif. n“Sentimen Xenophobia dan anti-Muslim telah meningkat secara eksponensial dalam 15 tahun terakhir. Pemerintah Jepang tidak menyadari bahwa masalah ini yang akan ditimbulkan oleh meningkatnya sentimen anti-Muslim," ujarnya memperingatkan.
Hal ini, menurut Yamamato menunjukkan, sentimen anti-Muslim di negara ini telah meningkat tidak seperti sebelumnya, Yamamoto mengatakan jika orang-orang Jepang saat ini sudah mengikuti AS secara politik dan sosial. "Sikap AS yang pro-Israel selama serangan Gaza telah membuat Jepang menjadi anti-Palestina dan anti-Muslim," tegasnya dilansir dari Daily Sabah, Jumat (8/3/2024).
Dia mencatat, masyarakat Jepang yang mendukung Israel, juga telah memelopori kampanye anti-Muslim di negara itu, dan menyebutkan bahwa lobi pro-Israel telah menyebarkan kebencian tidak hanya terhadap Palestina tetapi juga terhadap negara-negara Muslim lainnya.
Israel telah mengobarkan serangan militer yang mematikan, sekarang di hari ke-152, di Jalur Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Korban jiwa akibat serangan tanpa ampun Israel telah menyebabkan 30.700 warga Palestina terbunuh dan lebih dari 72 ribu lainnya terluka di tengah kehancuran massal dan kekurangan pasokan makanan.
Israel juga telah memberlakukan blokade yang melumpuhkan di Jalur Gaza, meninggalkan penduduknya, terutama penduduk Gaza utara, di ambang kelaparan. Perang Israel telah mendorong 85 persen populasi Gaza ke dalam perpindahan internal di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang akut.
Sementara 60 persen infrastruktur daerah kantong telah rusak atau hancur, menurut PBB. Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional. Keputusan sementara pada bulan Januari memerintahkan Tel Aviv untuk menghentikan tindakan genosida dan mengambil langkah-langkah untuk menjamin bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.
Menurut Yamamoto, sentimen anti-Muslim di Jepang akan terus meningkat ditambah dengan kondisi generasi muda di negaranya. Banyak anak muda Jepang yang menolak menikah dan punya anak, sedangkan populasi pendatang semakin bertambah, serta banyak WNA yang menikah dan punya anak tinggal di negaranya.
"Selain itu, peningkatan orang Jepang yang menikahi orang asing menyebabkan fasis di negara itu menjadi marah dan menargetkan Muslim," katanya. "Jepang tidak pernah menjadi masyarakat yang terbuka untuk budaya asing sepanjang sejarahnya," Yamamoto menekankan,
Ia juga menambahkan bahwa Jepang tidak pernah hidup dengan begitu banyak orang asing setiap saat dalam sejarahnya. “Kami tidak memiliki pengalaman seperti itu,” kata Yamamoto. Jepang, ia melanjutkan, termasuk di antara negara-negara dengan orang-orang yang menua, membutuhkan tenaga kerja asing, Yamamato mengatakan: "Langkah pemerintah Jepang untuk membawa orang-orang dari luar negeri untuk bekerja telah memicu xenophobia di negara tersebut."
Yamamato sendiri memeluk Islam sejak 15 tahun yang lalu, berkat profesor universitasnya dan bahwa dia mulai belajar bahasa Arab klasik di Universitas Kyoto sebelum menerima Islam. Yamamato juga pergi mengunjungi ke ibu kota Mesir di Kairo atas saran profesor universitasnya dan menjadi seorang Muslim di sana.
“Sebelum saya menjadi seorang Muslim, saya membaca dan menganalisis buku-buku dari agama lain, tetapi tidak satupun dari mereka yang menarik saya,” ungkapnya. Keluarga Yamamoto yang non-religius, tidak mempermasalahkan perpindahan agamanya, tetapi keluarga Jepang lainnya mungkin akan bereaksi terhadap situasi ini. "Apakah reaksi ini besar atau kecil bervariasi dari keluarga ke keluarga," tambahnya.