Rabu 20 Mar 2024 18:05 WIB

BRIN Sebut tak Ada Kaitan Banjir dengan Isyarat Kemunculan Selat Muria

Banjir yang terjadi murni pengaruh alam akibat kondisi cuaca ekstrem.

Red: Friska Yolandha
Foto udara kondisi banjir yang merendam kawasan Alun-alun Demak di depan Masjid Agung Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (19/3/2024). Bencana banjir karena curah hujan tinggi beberapa hari sejak Rabu (13/3) dari hulu ke hilir yang dipengaruhi bibit siklon tropis itu mengakibatkan sejumlah tanggul sungai jebol dan melimpas sehingga menyebabkan beberapa ruas jalan protokol di pusat kota terendam banjir dengan ketinggian sekitar 30-60 cm yang menghambat aktivitas serta mobilitas warga dan sejumlah pertokoan terpaksa tutup.
Foto: ANTARA FOTO/Aji Styawan
Foto udara kondisi banjir yang merendam kawasan Alun-alun Demak di depan Masjid Agung Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (19/3/2024). Bencana banjir karena curah hujan tinggi beberapa hari sejak Rabu (13/3) dari hulu ke hilir yang dipengaruhi bibit siklon tropis itu mengakibatkan sejumlah tanggul sungai jebol dan melimpas sehingga menyebabkan beberapa ruas jalan protokol di pusat kota terendam banjir dengan ketinggian sekitar 30-60 cm yang menghambat aktivitas serta mobilitas warga dan sejumlah pertokoan terpaksa tutup.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan peristiwa banjir besar yang merendam Demak hingga Kudus tak ada kaitan dengan isyarat kemunculan kembali Selat Muria. Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Eko Soebowo saat dihubungi di Jakarta, Rabu (20/3/2024), menjelaskan bahwa banjir yang terjadi murni pengaruh alam akibat kondisi cuaca ekstrem.

"Cuaca memang ekstrem dan daerah aliran sungai di wilayah sana tidak mampu menampung volume air hujan yang tinggi karena terjadi sedimentasi," ujarnya.

Baca Juga

Eko mengungkapkan kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan menjadi pemicu sedimentasi yang terjadi di sisi selatan. Bahkan, pengambilan air tanah berlebihan membuat kawasan pesisir pantai utara Jawa mengalami penurunan muka tanah yang signifikan 5 sampai 10 sentimeter per tahun.

Bentuk mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengeringkan kembali daratan Demak hingga Kudus adalah pembenahan tata guna lahan. Kawasan konservasi dan kawasan lindung yang dulu dibuka untuk kawasan komersial dan perumahan harus dikembalikan lagi fungsinya sebagai zona resapan air.

Kegiatan pengambilan air tanah secara berlebihan juga harus dikurangi dengan membangun bendungan yang berfungsi sebagai sumber air bersih bagi masyarakat setempat, seperti Waduk Jatibarang di Semarang dan Waduk Jati Gede di Indramayu.

"Apakah banjir terjadi lautan lagi? Menurut pandangan kami itu tidak akan terjadi. Faktor utama kalau itu (daratan) kembali menjadi selat adalah kenaikan muka air laut," kata Eko.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement