REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ramadhan merupakan bulan suci yang tidak disia-siakan oleh orang-orang shaleh, termasuk dalam hal ini para ulama terdahulu. Apa saja yang dilakukan ulama terdahulu selama Ramadhan?
Selama bulan suci Ramadhan, ulama-ulama terdahulu ibarat hanyut dalam menikmati Alquran. Di bulan suci itu mereka semakin dekat dengan Alquran. Semua aktivitas selain yang berkaitan dengan Alquran, bahkan ditinggalkan.
Misalnya Imam Malik yang tidak memiliki kesibukan apapun di bulan suci Ramadhan, kecuali dengan Alquran. Ia tinggalkan aktivitas mengajar, memberi fatwa, dan acara-acara pertemuan bersama orang-orang untuk sementara waktu. Terkait hal ini, Imam Malik berkata, "Ini adalah bulan Alquran."
Allah SWT berfirman, "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)." (QS Al Baqarah ayat 185)
Dr 'Aidh Abdullah Al-Qarni dalam bukunya, 'Tsalaatsuna Dirasan Li Ash-Shaaimiina' (diterjemahkan Drs Anding Mujahidin menjadi '30 Renungan Ramadhan'), memaparkan, Alquran mencintai Ramadhan, begitu pun Ramadhan, yang juga mencintai Alquran. Keduanya adalah sahabat yang saling mengasihi.
Alquran diturunkan ke langit dunia dan Lauhul Mahfuz di bulan Ramadhan. Bulan ini menjadi terhormat seiring dengan diturunkannya Alquran di bulan tersebut. Rasulullah SAW mengkaji Alquran bersama malaikat Jibril di bulan Ramadhan.
Karena itu, orang yang melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan dan membaca Alquran berarti ia telah membuat paduan antara Ramadhan dan Alquran. Alquran pun telah menyampaikan bahwa Ramadhan hidup bersama Alquran yang mulia itu.
Allah SWT berfirman, "Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran." (QS Shad ayat 29)
Bagi generasi salaf terdahulu, Ramadhan bukan sekadar bulan puasa, tetapi juga waktu yang penuh dengan kekhusyukan dalam ibadah. Generasi salaf menghidupkan rumah mereka dengan suara-suara bacaan Alquran.
Mereka membaca dengan penuh khidmat dan kesungguhan. Ini seolah melambangkan hubungan spiritual yang mendalam dengan wahyu Ilahi. Mereka membaca Al-Quran dengan penuh perasaan. Menangis saat mendengar nasihat-nasihat Allah, bergembira ketika membaca janji-janji-Nya, serta taat dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Salah satu contoh kekhusyukan ini terlihat dalam riwayat tentang Ibnu Mas'ud RA, sahabat Rasulullah SAW. Ketika Ibnu Mas'ud membaca awal surat An-Nisa di hadapan Nabi, ketika sampai di ayat 41, "Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka,"
Rasulullah SAW kemudian bersabda, "Cukup." Mata beliau berkaca-kaca, menandakan kekaguman dan kecintaan yang mendalam kepada Allah.