Kamis 11 Apr 2024 16:52 WIB

Xi Jinping: Tidak Ada yang Bisa Hentikan 'Reuni Keluarga' dengan Taiwan

Tahun lalu Ma menjadi pemimpin Taiwan pertama yang berkunjung ke Cina.

Rep: Lintar Satria/ Red: Didi Purwadi
Presiden Cina, Xi Jinping (kanan) bertemu dengan mantan Presiden Taiwan, Ma Ying-jeou, di Beijing, Cina, pada Rabu (10/4/2024) dalam upaya untuk mendorong unifikasi antara pihak-pihak yang berpisah di
Foto: TVBS via AP
Presiden Cina, Xi Jinping (kanan) bertemu dengan mantan Presiden Taiwan, Ma Ying-jeou, di Beijing, Cina, pada Rabu (10/4/2024) dalam upaya untuk mendorong unifikasi antara pihak-pihak yang berpisah di

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Presiden Cina, Xi Jinping, mengatakan kepada mantan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou bahwa intervensi dari luar tidak dapat menghentikan 'reuni keluarga' antara kedua sisi Selat Taiwan. Ia menambahkan tidak ada masalah yang tidak dapat didiskusikan.

Sejak kalah dalam perang sipil dari Partai Komunis Cina Mao Zedong pada 1949, tidak ada pejabat aktif pemerintah Taiwan yang berkunjung ke Cina Daratan. Ma merupakan presiden Taiwan dari 2008 sampai 2016.

Tahun lalu Ma menjadi pemimpin Taiwan pertama yang berkunjung ke Cina. Kunjungan keduanya dilakukan saat hubungan militer di kedua sisi selat kian memanas.

Ma sudah perkirakan akan bertemu dengan Xi Jinping yang pertama kali ia jumpai pada tahun 2015 di Singapura tepat sebelum presiden Taiwan saat ini Tsai Ing-wen memenangkan pemilihan umum. Xi bertemu Ma di Aula Besar Rakyat di mana biasanya pemimpin asing disambut.

Xi mengatakan warga di kedua sisi selat merupakan orang Cina. "Intervensi eksternal tidak bisa menghentikan tren historis reuni negara dan keluarga," kata Xi, seperti dilaporkan media Taiwan, Rabu (10/4/2024).

Xi tidak menjelaskannya lebih lanjut, tapi intervensi eksternal istilah yang biasanya digunakan pemerintah Cina untuk merujuk dukungan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS) ke Taiwan terutama penjualan senjata. "Tidak ada dendam yang tidak dapat diselesaikan, tidak ada masalah yang tidak bisa didiskusikan, dan tidak ada kekuatan yang dapat memisahkan kami," kata Xi.

Cina tidak pernah membuang kemungkinan menggunakan kekuatan militer untuk memaksakan otoritasnya pada Taiwan yang diperintah dengan demokrasi. Cina juga meningkatkan tekanan militer dan politik untuk menegaskan kedaulatannya di pulau itu.

Ma mengatakan ketegangan menyebabkan masyarakat Taiwan cemas. ''Bila ada perang antara kedua sisi, maka tidak akan bisa tertahankan bagi rakyat Cina," kata Ma menggunakan kata Cina untuk merujuk etnisitas bukan kewarganegaraan.

"Orang Cina di kedua sisi selat jelas memiliki cukup kebijaksanaan untuk mengatasi semua ketegangan dengan damai dan menghindari konflik," tambahnya.

Merespon pertemuan itu, Dewan Urusan Cina Darat pemerintah Taiwan mengatakan sangat menyayangkan Ma tidak mengungkapkan secara terbuka perlawanan rakyat Cina untuk mempertahankan kedaulatan dan sistem demokrasi mereka. Dewan menambahkan Cina harus berhenti mengintimidasi Taiwan dan menyelesaikan perbedaan dengan Taipei dengan dialog yang rasional dan saling menghargai.

Xi memanggil Ma sebagai "Bapak Ma Ying-jeou" bukan mantan presiden mengingatkan pemerintah Cina dan Taiwan tidak saling mengakui. Ma memanggil Xi sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina.

Tsai dan pemerintahnya menolak klaim teritorial Cina dengan mengatakan hanya warga Taiwan yang dapat memutuskan masa depan mereka. Cina mengatakan mereka hanya bersedia berbicara bila Tsai menerima kedua sisi selat merupakan bagian dari "Satu Cina" yang ia selalu tolak.

Xi baru menyinggung masalah Taiwan beberapa bulan terakhir. Berbicara dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada awal April lalu, Xi mendesak Washington untuk menerjemahkan komitmen Biden tidak mendukung 'kemerdekaan Taiwan' menjadi aksi nyata.

Xi juga belum memberikan komentar secara terbuka mengenai pemilihan presiden Taiwan pada bulan Januari lalu yang dimenangkan Wakil Presiden saat ini, Lai Ching-te. Beijing memandang Ching-te yang akan mulai menjabat pada tanggal 20 Mei sebagai separatis berbahaya.

Ma tetap menjadi anggota senior partai oposisi, Kuomintang (KMT), yang pada bulan Januari lalu kalah dalam pemilihan presiden untuk ketiga kalinya  berturut-turut. Namun ia tidak memiliki posisi resmi di partai.

KMT mendukung dialog dan hubungan yang lebih erat dengan Cina. Namun, KMT membantah keras mereka pro-Beijing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement