REPUBLIKA.CO.ID, JAMBI -- Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi melibatkan masyarakat dalam upaya mengurangi emisi karbon dengan menjaga hutan, dimana salah satu skemanya adalah perhutanan sosial.
Koordinator Program KKI Warsi, Ade Chandra, mengatakan, perhutanan sosial menjadi skema yang digunakan untuk melibatkan masyarakat. Program itu memberikan peluang bagi masyarakat mendapatkan berbagai pendanaan atas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan.
"Jadi, hutan-hutan itu dikelola masyarakat, dan harapannya hutan dikelola dengan baik serta ada peluang pembayaran berbasis kinerja result based payment (RBP). Maksudnya, ada insentif kepada kelompok yang mengelola hutan secara baik. Saat hutan dikelola oleh masyarakat, hutan akan tumbuh, dan emisi karbon akan berkurang," kata Ade menjelaskan.
KKI Warsi Jambi sampai saat ini mendampingi izin perhutanan sosial dengan luas berkisar 130.000 hektare. Lokasinya tersebar di Kabupaten Kerinci, Merangin, Bungo, Sarolangun, Batanghari, Tanjung Jabung Timur, dan Tanjung Jabung Barat, dimana masyarakat di berbagai daerah itu menjaga hutan dengan kearifan lokal.
"Kelompok masyarakat yang memegang izin perhutanan sosial itu akan disertifikasi. Ada sertifikasi nasional dan sertifikasi dari luar, yaitu Plan Vivo dan nantinya dipersiapkan juga bagaimana mereka bisa mempertahankan hutannya, serta kita hitung karbonnya dan dari situlah masyarakat mendapatkan insentif," kata dia.
KKI Warsi saat ini mempunyai program Pohon Asuh. Melalui program ini masyarakat yang tinggal jauh dari hutan dapat berkontribusi dengan berdonasi Rp 200 ribu untuk menanam sebatang pohon di hutan. Selama setahun pohonnya akan dijaga masyarakat yang tinggal dekat hutan.
"Donasi itu digunakan untuk menjaga pohon itu serta hutan agar tidak dirusak," kata Ade.
Sejauh ini, ada 19 hutan yang menjadi lokasi program pohon asuh. Yakni di Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat, dan Kalimantan Utara, diantaranya ada hutan adat, skema menjaga hutan dengan melibatkan masyarakat.