REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Diiringi alunan gamelan, dua perempuan paruh baya tampak bergantian menuangkan air dari tujuh bejana kecil berwarna keemasan ke sebuah gentong besar.
Keduanya ialah besan yang tengah bahu- membahu meracik air suci untuk anak atau menantunya yang sedang mengandung tujuh bulan. Air itu diambil dari tujuh sumber atau sumur yang berbeda.
Racikan air dalam gentong itu kemudian ditaburi sekar atau kembang setaman sebagai simbol keutamaan, disusul dua buah kelapa muda atau cengkir yang melambangkan kesucian. Menggunakan siwur atau gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan tangkainya dari bambu, dua perempuan berkebaya dan berhijab itu lantas menyiramkan racikan air itu ke tubuh anak atau menantu yang tengah hamil dengan posisi duduk tegak di kursi.
Siraman itu melambangkan manusia kembali kepada status kelahiran semula, serta supaya bersih dari noda dan kesalahannya. Di meja panjang yang tak jauh dari lokasi siraman, tertata rapi aneka sesaji atau ubarampe, di antaranya nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk, jenang procot, dawet, hingga ubi-ubian macam kacang tanah, ubi jalar, ketela, dan kentang rebus.
Bagian dari rangkaian ritual adat Jawa itu tidak berlangsung di rumah pribadi, namun di salah satu ruangan gedung di kompleks Balai Kota Yogyakarta. Simulasi tahap demi tahap upacara adat "mitoni" atau juga dikenal dengan tingkeban itu digelar Pemerintah Kota Yogyakarta bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) RI, beserta Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) setempat.
Ratusan orang yang terdiri atas ibu hamil beserta suami, remaja, calon pengantin, pasangan usia subur, hingga ibu bayi bawah dua tahun (baduta) di Kota Yogyakarta pun berbondong-bondong menghadiri acara itu. Selain menyaksikan dan diharapkan ikut melestarikan, mereka diajak memperkuat gerakan bersama mencegah stunting melalui simbol-simbol atau filosofi yang terkandung dalam tradisi "mitoni".
Melalui acara itu, Pemkot Yogyakarta berupaya mengedukasi masyarakat bahwa menekan angka stunting bisa dengan merawat budaya adilihung yang telah diwariskan nenek moyang.
"Mitoni" dan Gizi Seimbang
Tradisi "mitoni" telah lama mengakar dalam kehidupan penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta dan di Pulau Jawa pada umumnya. "Mitoni" berasal dari kata dalam Bahasa Jawa pitu yang berarti tujuh, mengingat upacara adat Jawa itu digelar kala bayi dalam kandungan menginjak usia tujuh bulan yang menjadi momen fisik bayi terbentuk sempurna.
Melalui upacara ritual daur hidup manusia itu, bayi didoakan agar selalu selamat dalam kandungan sehingga kelak bisa lahir secara normal. Adapun sang ibu dapat melahirkan dengan selamat dan sehat.
Agar bayi sehat dan lahir selamat, tradisi "mitoni" mengajarkan bahwa selain didoakan, sang ibu wajib mendapat asupan gizi seimbang yang disimbolkan melalui aneka sesaji. Nasi tumpeng yang terdiri atas nasi lengkap dengan lauk telur ayam, ikan, serta aneka sayuran telah mewakili pemenuhan protein serta karbohidrat.
Demikian pula, sesaji lain berupa ubi-ubian serta rujak yang terbuat dari aneka buah mengingatkan betapa pentingnya pemenuhan serat dan vitamin bagi ibu hamil. Terlepas dari aspek sakralnya, sesaji itu dapat dibaca sebagai simbol dari nutrisi, kesehatan mental, dan fisik yang harus dipenuhi untuk mencegah stunting.
Lebih dari soal gizi, Penjabat Ketua TP PKK Kota Yogyakarta Atik Wulandari menilai rangkaian proses yang harus dilaksanakan dalam ritual itu turut membantu ibu hamil menyiapkan mental dalam menghadapi masa persalinan. "Mitoni" juga memberikan penyadaran bagi masyarakat, khususnya keluarga, bahwa ibu hamil perlu mendapat perhatian khusus, dijaga, dan dilindungi hingga ibu dan bayi selamat saat persalinan.
Tekan Stunting
Angka stunting di DIY pada 2023 masih tercatat 16,4 persen, sehingga target untuk menurunkan prevalensi stunting menjadi 14 persen pada 2024 tidak hanya memerlukan kebijakan Pemerintah yang tepat. Tetapi juga partisipasi aktif dari semua pihak, termasuk melalui tradisi.
Penjabat Wali Kota Yogyakarta Singgih Raharjo mengemukakan bahwa seiring perkembangan zaman kearifan lokal "mitoni" dengan ilmu kesehatan modern perlu dikolaborasikan sebagai langkah strategis mempercepat penurunan stunting. Melalui setiap sarana dan tahapan upacara itu, ke depan dapat diselipkan pesan-pesan penting mengenai gizi, perawatan prenatal, hingga pentingnya penundaan usia perkawinan.
Kendati tidak digelar secara lengkap, masyarakat diharap dapat menerapkan pesan maupun filosofi dari tradisi itu sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Tradisi dan kearifan lokal yang dikemas sesuai dengan kebutuhan zaman bisa menjadi medium yang efektif untuk memperbaiki kualitas hidup generasi ke generasi.
Kepala BKKBN RI Hasto Wardoyo pun yakin tradisi "mitoni" mampu berperan dalam menyelesaikan masalah stunting. Dia menyebut "mitoni" selaras dengan Program Bangga Kencana yang merupakan akronim dari Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana.
Dokter kandungan yang juga mantan Bupati Kulon Progo itu memiliki impian bahwa kelak setiap upacara tradisi "mitoni" dapat difasilitasi secara massal oleh Pemerintah sehingga dapat dilengkapi dengan layanan konsultasi kedokteran hingga USG untuk melihat kondisi janin secara gratis.
Lebih dari sekadar upacara untuk merayakan fase kehamilan, "mitoni" dapat menjadi sebuah gerakan besar menekan stunting demi meningkatkan kualitas hidup generasi yang akan datang.