Kamis 02 May 2024 14:42 WIB

Ada Yahudi di Balik UU Kebebasan Beragama Amerika, Apa Jadinya?

Kasus Islamofobia mengalami peningkatan di Amerika.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Islamofobia di AS (ilustrasi)
Foto: Bosh Fawstin
Islamofobia di AS (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Amerika Serikat menggambarkan dirinya sebagai negara demokratis yang mendukung kesetaraan ras dan kebebasan beragama. Namun kenyataannya tidaklah demikian terutama sejak peristiwa "11 September 2001".

Amerika Serikat mengalami peningkatan Islamofobia dalam masyarakat arus utama. Umat Islam pun menghadapi bayang-bayang keraguan dan kecurigaan, dan mereka semakin diawasi, menghadapi tuduhan yang tidak berdasar, dan terkena diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Meningkatkan perasaan terisolasi dan termarjinalkan.

Baca Juga

Jumlah umat Islam di AS saat ini berjumlah sekitar lima juta orang, menurut statistik yang dikeluarkan pada 2022. Jumlah ini hanya mewakili 2 persen dari total populasi negara tersebut. Namun opini publik arus utama di AS tidak lagi dapat menerima kehadiran Muslim.

Beberapa tahun sebelum peristiwa 11 September, tepatnya pada 1998, Departemen Luar Negeri AS membentuk Undang-Undang Kebebasan Beragama Internasional, dan mengeluarkan laporan pertamanya pada Oktober 2001, yang menyoroti negara-negara yang dianggap memiliki kebebasan beragama yang terbatas atau hilang.

Gagasan mengenai langkah resmi Amerika untuk fokus pada kebebasan beragama di dunia muncul melalui kampanye bertajuk "Selamatkan Umat Kristen di Dunia dari Penganiayaan". Ini diluncurkan oleh pengacara Amerika sekaligus Yahudi, Michael Horovitz, yang menjunjung tinggi posisinya pada era Presiden AS Ronald Reagan.

Pada 5 Juli 1995, Horovitz menerbitkan sebuah artikel di Wall Street Journal dengan judul "Fanatisme Baru Antara Salib dan Bulan Sabit." Karena ada upaya para promotor mengungkap kasus-kasus penganiayaan agama, khususnya penganiayaan terhadap umat Kristiani, Presiden AS Bill Clinton pun menugaskan Menteri Luar Negeri Warren Christopher untuk membentuk sebuah komite yang dikenal sebagai "Komisi Pita Biru" pada November 1996.

Presiden Clinton juga meluncurkan inisiatif Hari Kebebasan Beragama Nasional pada 16 November 1997, di mana ia mengumumkan bahwa pemerintah akan menetapkan penerapan kebebasan beragama sebagai standar fundamental yang mengatur hubungan internasional Amerika Serikat rancangan undang-undang.

Di antaranya, pertama, RUU yang diajukan oleh Perwakilan Republik Frank Wolf, Anggota Kongres dari Virginia, dan Arlen Spector dari Partai Republik, Anggota Kongres dari Pennsylvania dan Ketua Komite Intelijen, dikenal sebagai "Kebebasan dari Penganiayaan Beragama".

Kedua, RUU "Don Nickels" yaitu RUU paralel yang diajukan ke Senat pada 26 Maret 1998. Undang-undang ini diubah dan namanya diganti menjadi "Undang-undang Kebebasan Beragama Internasional", yang disetujui pada 9 Oktober 1998.

Dari undang-undang tersebut, disetujui juga untuk mendirikan Kantor Kebebasan Beragama Internasional, yang akan dipimpin oleh seorang duta besar tanpa cabang diplomatik. Kantor tersebut bertanggung jawab untuk menerbitkan laporan tahunan yang merangkum situasi kebebasan beragama dan penganiayaan agama di setiap negara di dunia.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement