Kamis 02 May 2024 17:30 WIB

Suara Perempuan Aurat, Benarkah Haram Bernyanyi? 

Nyanyi merupakan upaya mengekspresikan keindahan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Erdy Nasrul
Cendekiawan Islam Indonesia Quraish Shihab.
Foto: Majelis Hukama
Cendekiawan Islam Indonesia Quraish Shihab.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Secara anatomi, perempuan dan laki-laki tentu berbeda. Islam pun memahami hal itu sehingga membedakan beberapa hal perkara hukum antara laki-laki dengan perempuan yang diatur dalam syariat. Salah satunya perkara aurat. 

Suara perempuan kerap dianggap aurat sehingga tak sedikit anggapan dan juga hujjah bahwa perempuan haram bernyanyi. Namun demikian, para ulama saling berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya musik dan nyanyian dibawakan oleh perempuan. 

Baca Juga

Misalnya dalam buku Perempuan karya Prof Quraish Shihab dijelaskan, perbedaan pendapat dari kalangan ulama ini disebabkan adanya larangan pada zaman Rasulullah SAW.

Namun demikian, para sufi mengaitkan larangan tersebut sebab adanya kondisi yang terjadi pada zaman itu. Yakni timbulnya dampak negatif yang ditimbulkan dari musik yang didendangkan sehingga muncul lah larangan dari Nabi Muhammad SAW.

Adanya sejarah larangan dari Rasulullah SAW itu lah yang membuat Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mendengarkan nyanyian saja termasuk dosa hukumnya. Namun demikian, ulama lainnya seperti Imam Ghazali berpandangan bahwa musik dan nyanyian hukumnya boleh. 

Sebab nyanyian dianggap oleh beliau dapat menimbulkan keadaan khusyuk bagi sebagian tertentu. Pendapat ini pun didukung oleh para ulama sufi. Lantas bagaimana hukumnya bagi perempuan bernyanyi?

Terdapat hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan penegasan terhadap perempuan yang bernyanyi. Ketika itu, Rasulullah SAW masuk rumah dan didapatinya dua orang budak wanita sedang menyanyikan lagu peperangan Bu’ats.

Rasulullah pun pergi berbaring di kasur dan mengalihkan wajah. Kemudian, Abu Bakar menghardik kedua budak yang bernyanyi itu namun segera dihalangi Rasulullah SAW dengan berkata, “Biarkan keduanya (bernyanyi)." Setelah Rasulullah terlena, kedua budak tersebut dipersilakan bernyanyi oleh Aisyah di luar. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ibnu Majah.

Dijelaskan bahwa, Rasulullah SAW memperbolehkan perempuan bernyanyi. Namun sikap Rasulullah SAW memalingkan wajah tersebut, menurut Prof Quraish Shihab, adalah untuk mengindari penglihatannya dari para penyanyinya.

Namun demikian meski diperbolehkan, syariat Islam juga membatasi nyanyian yang dinyanyikan perempuan. Yakni tidak bernyanyi dengan suara yang mengundang hasrat, bernyanyi dengan melakukan gerakan erotis, dan tidak juga diperkenankan berlemah lembut dan lunak yang dibuat-buat dalam berbicara.

Nyanyian dan musik dalam Islam itu masuk ke dalam kategori duniawi yang berlaku kaidah fikihnya. Para ahli hukum Islam memasukkan kebutuhan terhadap seni secara umum, khususnya lagu, ke dalam masalah tahsiniyah (kebutuhan hidup).

Tahsiniyah di sini merupakan kebutuhan yang bukan pokok. Sehingga apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka tidak akan mengakibatkan terancamnya kehidupan seseorang. Meski demikian, Imam Syafi’i berpendapat bahwa nyanyian adalah hal yang sia-sia yang diserupakan dengan kebatilan.

Dalam kitab Ihya Ulumiddin disebutkan, Ibnu Qudamah dari madzhab Hambali berpendapat bahwa memainkan alat musik seperti gambus, genderang, gitar, rebab, dan lainnya adalah haram. Kecuali duff (tambor), sebab Nabi pernah membolehkan alat musik tersebut dimainkan di pesta pernikahan.

Meskipun terjadi pro-kontra tentang boleh tidaknya perempuan bernyanyi, mayoritas pendapat ulama yang mengharamkan itu merujuk pada dalil Alquran. 

Yakni di Surat Al-Lukman ayat 6 berbunyi, “Wa minannasi yastari lahwal-haditsi liyudhilla an sabilillahi bighairi ilmin wa yattakhidzaha huzuwan ulaika lahum adzabun muhinun."

Yang artinya, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan."

Dalam kitab Fiqh al-Ghina karya Yusuf Al-Qardhawi dijelaskan, kata-kata perkataan yang tidak berguna itu kerap ditafsirkan sebagai nyanyian. Hal itu sebagaimana pendapat sahabat Nabi bernama Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, hingga Ikrimah.

Namun demikian sebab ada kalangan ulama yang membolehkan perempuan untuk bernyanyi, tentunya hal itu dapat disikapi dengan bijak juga. Asalkan bernyanyinya perempuan tidak keluar dari syariat yang telah ditentukan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement