Senin 06 May 2024 09:54 WIB

BMKG Ungkap Penyebab Suhu Udara Jadi Lebih Gerah

Suhu panas yang terjadi adalah akibat dari pemanasan permukaan karena awan berkurang.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Friska Yolandha
Warga meminum air saat cuaca panas di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Warga meminum air saat cuaca panas di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Jumat (25/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menegaskan cuaca panas yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini bukanlah akibat gelombang panas atau heatwave. Berdasarkan karakteristik dan indikator statistik pengamatan suhu yang dilakukan BMKG, kata dia, fenomena cuaca panas tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai gelombang panas.

"Saat ini gelombang panas sedang melanda berbagai negara Asia, seperti Thailand dengan suhu maksimum mencapai 52 derajat Celcius (C). Kamboja, dengan suhu udara mencapai level tertinggi dalam 170 tahun terakhir, yaitu 43 derajat C pada minggu ini. Namun, khusus di Indonesia yang terjadi bukanlah gelombang panas, melainkan suhu panas seperti pada umumnya," kata Dwikorita dalam keterangan pers pada Senin (6/5/2024). 

Baca Juga

Dwikorita menerangkan kondisi maritim di sekitar Indonesia dengan laut yang hangat dan topografi pegunungan mengakibatkan naiknya gerakan udara. Sehingga dimungkinkan terjadinya penyanggaan atau buffer kenaikan temperatur secara ekstrem dengan terjadi banyak hujan yang mendinginkan permukaan secara periodik. 

"Hal inilah yang menyebabkan tidak terjadinya gelombang panas di wilayah Kepulauan Indonesia," ujar Dwikorita. 

Suhu panas yang terjadi, kata Dwikorita, adalah akibat dari pemanasan permukaan sebagai dampak dari mulai berkurangnya pembentukan awan dan berkurangnya curah hujan. Sama halnya dengan kondisi “gerah” yang dirasakan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, tambah dia, hal tersebut juga merupakan sesuatu yang umum terjadi pada periode peralihan musim hujan ke musim kemarau, sebagai kombinasi dampak pemanasan permukaan dan kelembaban yang masih relatif tinggi pada periode peralihan ini.

"Periode peralihan ini umumnya dicirikan dengan kondisi pagi hari yang cerah, siang hari yang terik dengan pertumbuhan awan yang pesat diiringi peningkatan suhu udara, kemudian terjadi hujan pada siang menjelang sore hari atau sore menjelang malam hari," ujar Dwikorita.

Sedangkan pada malam hari, kondisi gerah serupa juga dapat terasa jika langit masih tertutup awan dengan suhu udara serta kelembaban udara yang relatif tinggi. Selanjutnya, udara berangsur-angsur dirasakan mendingin kembali jika hujan sudah mulai turun.

Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi, Ardhasena Sopaheluwakan menyampaikan  bahwa suhu udara maksimum tertinggi di Indonesia selama sepekan terakhir tercatat terjadi di Palu 37,8 derajat C pada 23 April lalu. Suhu udara maksimum di atas 36,5 derajat C juga tercatat di beberapa wilayah lain, yaitu pada tanggal 21 April di Medan, Sumatera utara yang mencapai 37,0 derajat C, dan di Saumlaki, Maluku mencapai suhu maksimum sebesar 37,8 derajat C, serta pada tanggal 23 April di Palu, Sulawesi Tengah mencapai 36,8 derajat C. 

Berdasarkan hasil pantauan jaringan pengamatan BMKG, kata Ardhasena, hingga awal Mei 2024 menunjukkan baru sebanyak 8 persen wilayah Indonesia (56 Zona Musim atau ZOM) telah memasuki musim kemarau. Wilayah yang telah memasuki periode musim kemarau tersebut meliputi sebagian Aceh, sebagian Sumatera Utara, Riau bagian utara, sekitar Pangandaran Jawa Barat, sebagian Sulawesi Tengah dan sebagian Maluku Utara. Pada periode hingga satu bulan ke depan, terdapat beberapa wilayah yang akan memasuki musim kemarau seperti sebagian Nusa Tenggara, sebagian pulauJawa, sebagian pulau Sumatera, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Maluku, serta Papua bagian timur dan selatan. 

"Meskipun demikian, sekitar 76 persen wilayah Indonesia lainnya (530 ZOM) masih berada pada periode musim hujan," ujar Ardhasena.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement