Jumat 26 Sep 2025 06:57 WIB

Suka Curhat ke AI? Pakar Ingatkan Risikonya Enggak Main-Main

Al dinilai sebaiknya diposisikan sebagai pendamping, bukan pengganti psikolog.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Wanita curhat ke AI (ilustrasi). Meski dianggap hal biasa dan menjadi tren, pakar mengingatkan bahwa curhat kepada Al menyimpan risiko serius.
Foto: Dok. Freepik
Wanita curhat ke AI (ilustrasi). Meski dianggap hal biasa dan menjadi tren, pakar mengingatkan bahwa curhat kepada Al menyimpan risiko serius.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring perkembangan kecerdasan buatan (Al), banyak remaja yang memilih curhat pada chatbot Al seperti ChatGPT ketimbang orang tua, teman, maupun guru. Meski dianggap hal biasa dan menjadi tren, pakar mengingatkan bahwa curhat kepada Al menyimpan risiko serius.

Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Dr Yulina Eva Riany, mengatakan curhat ke ChatGPT berisiko menimbulkan risiko kebocoran data pribadi. Selain itu, ketergantungan emosional pada Al berpotensi menghambat keterampilan sosial remaja.

Baca Juga

Menurut Yulina, Al yang selalu memberi respons instan membuat remaja kurang belajar mengelola frustrasi, menunggu, atau bernegosiasi dengan orang lain. "Keterampilan empati, membaca ekspresi wajah, dan komunikasi pada remaja juga bisa tereduksi jika semua curhat digantikan Al," kata Yulina dalam keterangan tertulis, dikutip pada Jumat (26/9/2025).

Untuk itu, Yulina menekankan pentingnya peran orang tua dan sekolah. Orang tua perlu membangun komunikasi dua arah, mendengarkan tanpa menghakimi, sekaligus memberikan literasi digital tentang risiko berbagi data pribadi. "Sesekali tanyakan kepada anak, dengan cara suportif, apa yang ia bicarakan dengan Al. Pendampingan aktif ini krusial agar remaja tidak salah langkah," kata dia.

Bagi sekolah, integrasi literasi digital dan emosional dalam kurikulum menjadi kebutuhan mendesak. Guru bimbingan konseling (BK) juga perlu memahami fenomena ini agar remaja tetap nyaman berbicara dengan manusia.

"Sekolah dapat membentuk peer support system yaitu kelompok teman sebaya terlatih untuk mendengarkan. Dengan begitu, remaja tidak hanya bergantung pada Al," ujar Yulina.

Fenomena remaja curhat ke Al, kata dia, harus dijadikan momentum memperkuat komunikasi sehat dalam keluarga dan lingkungan sekolah. la pun menyarankan agar platform Al sebaiknya menerapkan moderasi konten ketat, transparansi data, serta safeguard otomatis untuk merespons kata kunci berbahaya.

"Al sebaiknya diposisikan sebagai pendamping, bukan pengganti psikolog atau konselor. Al hanyalah alat, bukan pengganti relasi manusia," ujar Yulina.

 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Ameera Network (@ameeranetwork)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.

(QS. Ali 'Imran ayat 159)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement