REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim menjelaskan tentang tren peningkatan anggaran dan penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) dalam rapat pembahasan polemik uang kuliah tunggal (UKT) saat rapat kerja bersama Komisi X DPR RI. Dia meminta legislator untuk memberikan dukungan pada program tersebut.
“Ini komitmen bersama (semestinya) bukan hanya Kemendikbudristek tapi juga Komisi X bahwa dengan adanya masalah UKT ini mendorong untuk berjuang meningkatkan KIPK untuk mahasiswa-mahasiswa yang di tingkat ekonomi sangat membutuhkan,” kata Nadiem dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI di Gedung Parlemen, Selasa (21/5/2024).
Nadiem menyebut bahwa besaran anggaran dan penerima KIPK dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Sehingga secara otomatis semakin banyak mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah yang terbantu atas program tersebut untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi di universitas negeri.
“Kami akan terus berjuang meningkatkan total KIPK karena situasi paling ideal adalah tangga UKT dilaksanakan, sehingga yang mampu membayar lebih banyak dan yang tidak mampu membayar lebih sedikit. Dan kita harus memastikan tangga paling bawah diberikan KIPK, sehingga yang tidak mampu masih bisa mengikuti perguruan tinggi,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendikbudristek Suharti menjelaskan tren peningkatan anggaran untuk program KIPK, beserta jumlah mahasiswa penerima manfaat atas program tersebut dari 2020—2024.
Berdasarkan data Kemendikbudristek, pada 2020 besaran anggaran untuk program KIPK sebesar Rp3,7 triliun yang diperuntukkan untuk 552.706 mahasiswa. Kemudian meningkat pada 2021 menjadi Rp7,2 triliun untuk 674.187 mahasiswa.
Kembali mengalami kenaikan menjadi Rp9,9 triliun pada 2022 dengan jumlah mahasiswa penerima manfaat sebanyak 780.014 orang. Lantas pada 2023 anggaran KIPK naik menjadi Rp11,7 triliun untuk 893.005 mahasiswa.
“Dan tahun ini dialokasikan Rp 13,9 triliun untuk total 985.477 mahasiswa. 200 ribu diantaranya mahasiswa baru kemudian yang sedang berjalan 700 ribu, dan untuk melanjutkan yang tahun lalu kita berikan biaya pendidikan 85 ribu mahasiswa,” tuturnya.
Menurut penuturannya, pada skemanya banyak perubahan yang terjadi. Sehingga anggaran yang dialokasikan pun menjadi tinggi. Misalnya saja lebih banyak mahasiswa penerima KIPK yang masuk program studi (prodi) dengan biayanya lebih mahal.
Suharti berharap program KIPK itu dapat didukung agar terus mengalami peningkatan. Yang artinya lebih banyak lagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu yang bisa dibiayai untuk berkuliah.
“Dari 200 ribu mahasiswa baru, penerima KIPK yang penerima PIP (Program Indonesia Pintar) ketika mereka ada di SMA sederajat baru sekitar 18 persen, jadi memang perlu kita dorong anak-anak yang tidak mampu ketika masih SMA untuk berani mendaftar karena memang tidak semua dari mereka berani mendaftar karena sudah takut untuk pembiayaan. Mudah-mudahan anak-anak dari kelompok miskin ini mendapatkan akses untuk melanjutkan ke perguruan tinggi,” tutur Suharti.