REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika kita membahas persoalan iklim dan lingkungan seperti bencana terkait iklim atau hilangnya keanekaragaman hayati, kita cenderung tidak memikirkan gender. Sekilas, hal ini mungkin tampak tidak relevan.
Namun, semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa perempuan secara tidak proporsional lebih rentan terhadap perubahan iklim dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Perempuan bahkan 14 kali lebih mungkin meninggal dalam bencana terkait perubahan iklim dibandingkan laki-laki. Perempuan juga mewakili 80 persen dari orang-orang yang mengungsi akibat cuaca ekstrem.
Dalam sebuah meta-analisis terhadap 130 penelitian, 68 persen di antaranya menemukan bahwa perempuan lebih terdampak oleh masalah kesehatan yang terkait dengan iklim daripada laki-laki. Kesehatan ibu dan perinatal secara khusus dipengaruhi oleh bahaya perubahan iklim seperti panas yang ekstrem. Begitu juga dengan kesehatan perempuan lanjut usia.
“Yang paling mengkhawatirkan, penelitian di seluruh dunia telah mengungkapkan bahwa kekerasan berbasis gender secara konsisten meningkat selama dan setelah bencana. Namun, para pembuat kebijakan dan penyedia layanan belum secara komprehensif mengatasi dampaknya bagi perempuan di era krisis iklim,” kata para peneliti seperti dilansir Phys, Jumat (31/5/2024).
Dampak perubahan iklim terhadap perumahan dan tempat tinggal juga dialami secara gender. Climate Council memperkirakan bahwa pada tahun 2030, 520.940 properti di Australia, atau satu dari setiap 25 properti, akan menjadi “berisiko tinggi” dan tidak dapat diasuransikan. Meningkatnya biaya hidup, tunawisma, dan perumahan yang tidak diasuransikan semuanya memengaruhi perempuan, yang sangat rentan kehilangan ketahanan pangan dan tempat tinggal.
Penelitian juga menunjukkan bahwa perempuan dan orang-orang dari berbagai gender membawa perspektif dan kepemimpinan yang penting untuk mengatasi masalah ini. Mereka bukan hanya korban yang tak berdaya.
Bukti dari berbagai sektor menunjukkan bahwa kepemimpinan yang beragam gender menghasilkan pendekatan yang lebih efektif dan adil. Jumlah perempuan yang lebih banyak dalam politik dan pembuatan kebijakan menghasilkan kebijakan aksi iklim yang lebih kuat, target iklim yang lebih ambisius, dan legislasi yang lebih pro-iklim.
Meskipun demikian, pada KTT Iklim COP28 pada tahun 2023, hanya 15 dari 140 pembicara yang merupakan perempuan. Lalu hanya 38 persen dari anggota delegasi partai yang perempuan.
Perempuan juga memiliki peran penting dalam mempersiapkan dan memulihkan diri dari bencana yang dipicu oleh iklim. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengambil peran emosional dan relasional dalam masyarakat, yang menopang jaringan kepedulian di tingkat lokal.
Kepedulian di tingkat komunitas sangat penting untuk membantu komunitas lokal tetap kuat dalam menghadapi bencana yang semakin meningkat, yang dampaknya sering kali melebihi kapasitas tenaga medis.
“Masalah iklim dan lingkungan tidak mempengaruhi kita semua secara merata. Perempuan sangat terpengaruh. Kita membutuhkan respons kebijakan yang tepat sasaran dan mengakui kerentanan ini,” tambah para peneliti dalam laporannya.