REPUBLIKA.CO.ID: Oleh: Alwi Shahab
Bambu runcing dipanggul di pundak para pasukan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang secara khusus dibentuk pada 27 Agustus 1945. BKR itu dibentuk untuk menghadapi pasukan NICA (Belanda) yang datang untuk menjajah kembali Indonesia membonceng pasukan sekutu (Inggris).
BKR kemudian melahirkan Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945 yang bersalin nama menjadi ABRI dan berganti menjadi TNI hingga sekarang. Pada masa awal revolusi TKR anggota-anggotanya terdiri dari para pemuda bekas prajurit PETA, Heiho, Kaigun, Hizbullah dan Barisan Pelopor.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17/8-1945, para pemuda Jakarta bergerak untuk menyebarkan berita proklamasi. Bukan hanya ke kampung-kampung di Jakarta, tapi berbagai pelosok Tanah Air.
”Lebih baik mati daripada dijajah kembali,” ungkapan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.
Situasi pada 1945 makin memanas ketika pasukan NICA dengan membonceng sekutu kembali ke Indonesia. Semua kampung di Jakarta kala itu membentuk kubu-kubu pertahanan berupa kawat berduri dan bambu runcing. Sehingga kalau ada tentara NICA yang masuk kampung lalu terdengar suara komando: Siaaap. Karenanya zaman itu juga dinamakan ‘zaman siap’.
Mengingat peristiwa tersebut sudah berlangsung 74 tahun, dan sudah jarang sekali yang mengalaminya, baiklah kita ingatkan kembali bagaimana kekejaman serdadu NICA pada saat revolusi. Mereka menembaki orang yasng kelihatan mencurigakan.
Untuk itu, Presiden Soekarno mengumumkan supaya rakyat tidak keluar rumah setelah pukul delapan malam. Catatan dalam Arsip Nasional saja delapan ribu rakyat telah dibunuh antara September dan Desember 1945.
Saya yang ketika itu baru berusia 9 tahun, menyaksikan pemuda-pemuda di Kampung Kwitang yang berusia lima dan enam tahun di atas saya, ikut terjun sebagai tentara pelajar meski harus memanggul bambu runcing. Banyak di antaranya mengembuskan napas terakhir akibat peluru NICA.
Kala itu para ibu di kampung-kampung mendirikan dapur umum untuk para pejuang. Belum dikenal istilah korupsi hingga dalam membela tanah air mereka rela menyumbangkan harta kekayaan yang mereka miliki.
Baca Juga: Masih Bertengkar Soal Khilafiah? Belajarlah pada KH Syafi'ie
Di antara pejuang Betawi yang paling ditakuti Belanda ialah KH Nur Ali dari Bekasi. Sampai Belanda berani memberikan hadiah besar bagi siapa yang bisa menangkapnya hidup atau mati. Jagoan Betawi, Imam Syafi’ie menghimpun para preman Pasar Senen menjadi kekuatan yang menakutkan Belanda. Mereka beroperasi di berbagai kampung di Jakarta.