REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Lintar Satria
Tidak sanggup menanggung subsidi pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintahan Soeharto menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL). BBM naik sebesar rata-rata 46,3 persen dan tarif listrik 60 persen. Bersamaan dengan itu tarif angkutan umum pun naik.
“Presiden sangat memahami dan menyadari kesulitan rakyat akan tetapi kenaikan harga BBM dan tarif listrik ini tidak bisa ditunda lagi,” kata Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangunkusumo waktu itu.
Pada malam tersebut kantor redaksi Republika juga dihujani telpon mempertanyakan kenekatan pemerintah menaikan BBM dan listrik. Padahal saat itu masyarakat hampir tidak mampu membeli ‘apa-apa’. Mereka mempertanyakan peran DPR yang hanya mengangguk-angguk dengan kemauan pemerintah.
Kenaikan BBM terakhir dilakukan pada tahun 1967 dan 1968. Kenaikan BBM pada waktu itu tidak menimbulkan gejolak, dan Soeharto yakin kenaikan harga BBM tahun 1998 juga tidak akan berdampak buruk, walaupun sudah ditentang berbagai pihak termasuk DPR.
Saat itu Priyo Budi Santoso anggota DPR yang cukup gencar mempertanyakan alasan pemerintah menaikan harga BBM. Dalam sesi tanya jawab dengan pemerintah terkait kenaikan BBM Priyo meminta Kuntoro untuk mengundurkan diri menjadi menteri.
Penolakan kenaikan BBM seperti tidak dianggap oleh pemerintah. Empat hari setelah menaikan harga BBM, tepatnya tanggal 9 Mei 1998 Soeharto justru pergi melakukan lawatan ke luar negeri. Soeharto pergi ke Kairo, Mesir untuk mengikuti pertemuan KTT G-15.
“Kalau betul-betul DPR menilai kenaikan BBM itu memberatkan rakyat, saya gembira karena DPR memikirkan rakyatnya, saya gembira,” kata Soeharto sebelum naik pesawat.
Saat itu Soeharto melakukan lawatan bersama Menteri Seketaris Negara Saadilah Mursyi. Wakil Presiden B.J Habibie dan sejumlah menteri ikut mengantar keberangkatan Soeharto. Sebelum berangkat ia sempat berbincang-bincang dengan wartawan mengenai permasalah dalam negeri. Tentang ekonomi, politik dan aksi-aksi keprihatinan yang dilakukan oleh mahasiswa di berbagai daerah.
“Inilah saya keluar negeri untuk memenuhi tugas konstitusional. Saya bukan tidak mengetahui keadaan di dalam negeri. Saya mengetahui keprihatinan rakyat,” kata Soeharto sebelum berangkat.
Akibat dari kenaikan harga BBM tersebut beberapa daerah terjadi kerusuhan. Kerusuhan yang cukup besar terjadi di Medan, Sumatera Utara. Aksi pengerusakan dan pembakaran terjadi selama tiga hari. Aksi destruktif tersebut melibatkan ribuan massa dan meluas ke wilayah-wilayah lain di pinggir selatan kota bahkan ke wilayah Kabupaten Deli Serdang.
Setidaknya wilayah Lubuk Pakam, Perbaungan, Galang, Batangkuis dan Tanjungmorawa turut diguncang amuk massa menyusul adanya keputusan pemerintah menaikan harga BBM dan tarif listrik.
Setelah tiga hari aksi tersebut berlangsung aksi lanjutan semakin menjurus ke arah sentimen rasial. Hal ini mendorong kian banyak pengungsian warga keturunan. Mereka meninggalkan rumah dan toko mereka. Kebanyakan mengungsi ke kota lain yang dianggap lebih aman atau menginap di Hotel Danau Toba yang dijaga ketat oleh aparat keamanan.
Pada 5 Mei Pangdam I Bukit Barisan Mayjen TNI Ismed Yuzairi mengatakan situasi kerusuhan sudah dapat kendalikan. Tapi keesokan harinya tepatnya 6 Mei 1998 kerusuhan kembali terjadi dan cenderung meluas ke pinggir-pinggir kota. Pada malam harinya Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima TNI Jendral Wiranto bersama stafnya mendarat di Medan untuk mencari tahu permasalah kerusuhan tersebut.
Pada malam itu pula Wiranto segera memberikan briefing di Markas Komando. Wiranto juga melakukan tinjauan langsung ke lokasi-lokasi pusat kerusuhan. Selain merusak beberapa toko dan beberapa kendaraan juga ikut dibakar massa. Dikabarkan saat itu ada sepuluh orang meninggal dunia dan belasan orang terluka dalam kerusuhan tersebut.
Pada tanggal 7 Mei 1998 bantuan pasukan Kostrad dari Jakarta dan berhasil meredam aksi kerusuhan di kota Medan. Namun, beberapa aksi destruktif di daerah-daerah sekitar Medan, seperti Deli Serdang, Tanjungmorawa, Pematang Siantar, dan Tebing Tinggi masih terjadi selama beberapa hari. Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subiakto saat itu mengatakan telah mengirim lima kompi pasukannya ke Medan untuk mengamankan situasi.
Menyusul redanya aksi di Medan, kerusuhan justru terjadi di kota Padang. Aksi massa itu membuat kota Gadang lumpuh. Puluhan ribu massa -- terdiri atas mahasiswa, pelajar SD, SMP, SMU, para sopir angkot, pengamen, dan masyarakat -- turun ke jalan. Di antara mereka kemudian ada yang merusak gedung-gedung seperti kantor Golkar I, ruang pamer mobil, bioskop, gedung DPRD I Sumbar, dan gedung Kanwil Pekerjaan Umum. Mereka juga merusak pusat perbelanjaan Minang Plaza, menjarah barang-barang yang ada di dalamnya dan merusak sejumlah ATM serta kantor bank.
Di Medan aksi kerusuhan telah menyebabkan enam orang tewas tertembak dan terbakar, dua luka berat, 98 luka ringan, puluhan kendaraan, dan ratusan rumah serta toko (ruko) dirusak/dibakar. Polisi menahan sebanyak 423 orang para pelaku kerusuhan dan tindak kriminal.
Kerusuhan berkelanjutan itu, praktis makin melumpuhkan kegiatan ekonomi di Sumut. Suasana kota Medan, masih tampak mencekam. Toko-toko tutup dan kegiatan perdagangan terhenti total. Kegiatan pelabuhan dan transportasi antarkota juga masih terhenti.
Tidak hanya mengakibatkan kerusuhan di Medan dan Padang. Krisis ekonomi dan kenaikan harga BBM juga berdampak ke berbagai sektor. Salah satunya sektor hiburan. Lebih dari 50 persen dari 3000 bioskop di seluruh Indonesia yang umumnya menengah ke bawah bangkrut. Karena tidak lagi mendapatkan pasokan film nasional.
Krisis ekonomi 1998 menghantam tanpa ampun. Tidak hanya hiburan, sektor pendidikan juga merasakan hal yang sama. Ada 364 lembaga pendidikan swasta di Jawa Timur setingkat Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) sekarang SMA tutup. Saat itu pemerintahan Soeharto berusaha untuk mengatasi krisis moneter dengan meminta bantuan dari Dana Moneter Internasioanl atau IMF.
Pada 4 Mei 1998 Menko Ekuin/Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita bertemu Presiden Soeharto di kediaman Jl Cendana. Dalam pertemuan tersebut Ginanjar mengatakan IMF mencairkan bantuan tahap keduanya, senilai hampir tiga miliar dolar AS. Tapi, dana itu tidak akan dipakai untuk intervensi pasar guna mendongkrak nilai tukar rupiah. Ia mengatakan bantuan IMF hanya digunakan untuk memperkuat cadangan devisa dan neraca pembayaran.
Nyatanya krisis ekonomi tak kunjung reda. Dan aksi-aksi mahasiswa semakin intens dilakukan di berbagai daerah.
(selanjutnya baca: Perjuangan 10 Ribu WNI Keturunan Menyingkir dari Indonesia)