Sabtu 21 May 2016 16:23 WIB
Runtuhnya Orde Soeharto

Janji Soeharto di Atas Mimbar yang tak Terpenuhi

Pidato pengunduran diri Presiden Soeharto.
Foto: wikipedia
Pidato pengunduran diri Presiden Soeharto.

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Lintar Satria

Ketua MPR/DPR Harmoko bersama empat Wakil Ketua MPR/DPR Abdul Gafur, Fatimah Achmad, Ismail Hasan Metareum dan Syarwan Hamid, sekitar Pukul 08: 40 tanggal 21 Mei 1998 tiba di Istana Merdeka. Seketaris Jenderal (Sekjen) DPR Afif Ma’roef tampak menyertai pimpinan MPR/DPR.

Penjagaan sekitar Monumen Nasional sangat ketat. Harmoko dan rombongannya harus belok ke arah pintu masuk Bank Indonesia sebelum masuk Jalan Medan Merdeka Barat. Pukul 08:50 WIB para pimpinan MPR/DPR itu diterima Presiden Soeharto di Ruang Jepara.

Dalam pertemuan itu Harmoko menyerahkan hasil rapat pimpinan DPR dan pimpinan fraksi yang dilakukan pada tanggal 19 Mei 1998. Hasil rapat tersebut intinya menyatakan Fraksi-fraksi mendukung permintaan Pimpinan DPR kepada Presiden Soeharto agar ia secara arif dan bijaksana mengundurkan diri.

Sepuluh menit kemudian Presiden Soeharto berdiri di depan mikrofon yang ditempatkan di tengah-tengah Credentials Room, Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. Mengenakan setelah warna gelap, dasi merah, dan peci hitam, Soeharto tampak tenang. Ia terlihat hampir tanpa ekspresi, mengeluarkan kacamata baca dan memakainya. Ia mengambil naskah pidato yang sudah disiapkan di saku jasnya.

Tempat pukul 09:06 WIB Soeharto mulai membacakan pidato pengunduran dirinya dengan suara datar.

“Sejak beberapa waktu terakhir saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Soeharto membuka pidatonya.

Hampir seluruh rakyat dan mahasiswa yang telah melakukan unjuk rasa selama berbulan-bulan diam di depan televisi atau radio. Pidato ini disiarkan langsung oleh seluruh stasiun televisi dan radio di seluruh tanah air. Para mahasiswa yang menduduki gedung DPR sejak tiga hari sebelumnya mengerumuni pesawat televisi di lobi Lokawirasabha dan ruang-ruang lain di DPR.

Suasana hening menyelimuti gedung DPR, yang sebelumnya selalu riuh oleh teriakan reformasi dan meminta Soeharto mundur dari jabatannya. Dan akhirnya tibalah kalimat itu.

“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998,” ucap Soeharto datar.

Semua orang tertegun selama beberapa detik, lalu pecahlah kegembiraan. Mahasiswa berjingkrak dan bersalam-salaman. Mereka berpeluk-pelukan, bersorak-sorai, menari-nari meluapkan kegembiraan. Kemudian berlari ke arah tangga utama MPR/DPR. Seiring mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya, mereka menaikkan bendera setengah tiang untuk menghormati empat pejuang reformasi menjadi satu tiang penuh.

Tidak hanya di Gedung MPR/DPR dan Jakarta, hampir seluruh kota di Indonesia terjadi suasana serupa. Di Yogyakarta, Semarang, Solo, Purwokerto, Denpasar, Palembang sampai Ujungpandang.

"Hati saya terasa plong. Akhirnya, Pak Harto bersedia mundur juga," kata Sipon Triyono (45), salah seorang pedagang di Pasar Klewer Solo. "Saya, mungkin sebagian besar rakyat kita patut mengucapkan syukur, alhamdulillah. Langkah beliau rela meletakkan jabatan ini akan membuat lega semua pihak," sambungnya.

Tidak ada yang menyangka Soeharto akan mengundurkan diri. Pada tanggal 10 Maret 1998 Soeharto dipilih kembali oleh MPR menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya. Ia dipilih untuk menjadi Presiden periode 1998-2003.  Saat itu Soeharto menerima jabatannya dengan penuh kebesaran.

“Insya Allah, lima tahun nanti saya akan berdiri di mimbar ini untuk menyampaikan pertanggungjabawaban kepemimpinan saya di hadapan wakil-wakil rakyat Indonesia,” kataSoeharto pada tanggal 11 Mei 1998.

Peristiwa pengunduran diri bersejarah tersebut hanya berlangsung selama empat menit. Sehabis Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya, Wakil Presiden BJ Habibie maju ke depan mikrofon. Dengan setelan yang hampir sama dengan yang dikenakan Soeharto, Habibie membacakan sumpah jabatannya menjadi Presiden menggantikan Soeharto.

"Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden RI dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa,” tutur Habibie.

Selesai mengucapkan sumpah Habibie didatangi Soeharto. Soeharto menyalami tanpa mengucapkan apa pun.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement