Selasa 22 Jul 2025 15:28 WIB

Perang Jawa, Penanda Batas Zaman

Sejak usai perlawanan yang dipimpin Diponegoro, Nusantara masuk ke kolonial utuh.

Lukisan Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock ole oleh Nicolaas Pieneman pada 1935.
Foto: Public Domains
Lukisan Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock ole oleh Nicolaas Pieneman pada 1935.

Juli 2025 ini menandai tepat 200 tahun Perang Jawa dimulai. Perlawanan pribumi yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan berlangsung selama lima tahun ini punya dampak signifikan tak hanya terkait perlawanan terhadap kolonial Belanda namun juga soal perkembangan Islam di Indonesia. Republika menggali arsip-arsip terdahulu soal perang dahsyat yang menewaskan ratusan ribu jiwa tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pangeran Diponegoro, bangsawan Jawa yang bernama kecil Mustahar ini, lahir di Keraton Yogyakarta pada 11 November 1785. Dia merupakan putra dari selir Sultan Hamengkubuwono III yang bernama Raden Ayu Mangkarawati. Dari sang ibunda, Pangeran Diponegoro mendapatkan silsilah wali sanga, yakni Sunan Ampel.

Baca Juga

Menurut Peter Carey, yang puluhan tahun meneliti Perang Diponegoro, perjuangan sang pangeran menandakan batas zaman. Sebelum konflik itu pecah pada 1825, hubungan antara pihak kolonial Eropa, termasuk Belanda, dan para raja Jawa cenderung "setara." Dalam arti, Belanda mengakui bahwa kerajaan lokal di Jawa memiliki kedaulatan meski dalam batas tertentu.

Kemudian, perang-perang yang terjadi di Jawa merupakan suksesi para elite penguasa lokal, yang di dalamnya Belanda terlibat dengan menjalankan politik pecah belah (devide et impera). Caranya ialah bekerja sama dengan seorang ningrat tertentu untuk menduduki tampuk kekuasaan sembari memusuhi ningrat lainnya.

Kesultanan Mataram berdiri sejak 1578 dan mencapai puncak kejayaannya dalam era Sultan Agung (wafat 1645). Belanda (VOC) pertama kali datang ke Nusantara pada awal abad ke-17 dengan dalih berdagang, tapi kemudian merusak tatanan politik lokal.

Di Jawa, Kesultanan Mataram tertungkus lumus oleh campur tangan Belanda. Puncaknya, Perjanjian Giyanti pada 1755 memecah Kesultanan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.

Sejak berakhirnya Perang Diponegoro pada 1830, masuklah Nusantara ke tatanan kolonialisme seutuhnya. Belanda menjadikan raja-raja Jawa hanyalah sebagai bagian dari birokrasi kolonial. Hal ini terutama sejak diberlakukannya sistem Tanam Paksa yang dipelopori gubernur jenderal van den Bosch.

Sistem ini memperkaya Belanda sekaligus menyengsarakan rakyat nusantara. Barulah kemudian memasuki awal abad ke-20, Belanda kembali mengalami perlawanan besar melalui gagasan modernisme Islam dan nasionalisme di Nusantara.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement