Selasa 05 Feb 2019 08:27 WIB

Denyut Nadi Imlek dalam Asimilasi Budaya Tionghoa

Di sejumlah daerah, Imlek bukan hanya milik warga Tionghoa

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Karta Raharja Ucu
Seorang santri melintas di depan poskamling sebuah Pondok Pesantren di Kampung Wisata Pecinan, Lasem, Jawa Tengah. Bangunan kuno serta riwayat sejarah yang membentuk akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa di kawasan tersebut.
Foto: ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
Seorang santri melintas di depan poskamling sebuah Pondok Pesantren di Kampung Wisata Pecinan, Lasem, Jawa Tengah. Bangunan kuno serta riwayat sejarah yang membentuk akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa di kawasan tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, Etnis Tionghoa memiliki beracam cara merayakan Imlek. Bahkan, beberapa perayaan berbaur dengan tradisi masyarakat setempat.

Munawir Aziz dalam buku Merawat Kebinekaan menulis, perayaan tahun baru Imlek, menjadi bagian dari ekspresi kultural orang-orang Tionghoa di Indonesia. Perayaan Imlek tidak hanya ramai diselenggarakan di Klenteng, tetapi juga menjadi ritual tradisi di gereja, masjid, bahkan sebagai kirab massal lintar komunitas.

Di Semarang, perayaan Imlek dinikmati warga lintas etnis. Banyak masyarakat yang mengunjungi beragam festival di kawasan Pecinan. Pasar Imlek Semawis (PIS) menjadi rujukan penyelenggaraan agenda merayakan Imlek. Sebab, ada beragam agenda, seperti festival kuliner, pertunjukan wayang Potehi, hingga pengobatan massal.

Di Lasem, Jawa Tengah, Imlek tidak hanya milik orang Tionghoa. Warga setempat turut merasakan denyut nadi Imlek. Perayaannya bukan sebagai kegiatan keagamaan, tetapi sebagai ruang publik bersama yang diakses warga lintas etnis.