REPUBLIKA.CO.ID, Semarak perayaan Imlek tidak bisa lepas dari peran Presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahkan, berkat kampanye pluralismenya, Gus Dur dinasbihkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia pada 2004 lalu.
Sebelum Reformasi, masyarakat Tionghoa tidak diizinkan mempraktikkan budayanya. Dalam buku Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, Aimee Dawis menulis rezim Presiden Soeharto menerapkan kebijakan asimilasi yang mewajibkan masyarakat Tionghoa melepas kebudayaan dan bahasa Mandarin.
Namun, keadaan orang Indonesia Tionghoa jauh lebih baik sesudah jatuhnya rezim Soeharto. Ketika Gus Dur berkuasa, ada upaya mengakhiri peraturan diskriminatif terhadap penduduk Indonesia Tionghoa. Langkah awalnya, menghapus Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1967 ihwal larangan pelaksanaan adat dan agama Tionghoa di tempat umum. Gus Dur juga menandatangani Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang mengizinkan perayaan Tahun Baru Imlek secara terbuka.
Dalam buku Merawat Kebinekaan, Munawar Aziz menulis, tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup warga Tionghoa di Indonesia kembali terangkat. Dia menyebut, kebijakan Gus Dur menjadi bagian dari politik identitas untuk mencipta harmoni keindonesiaan.