REPUBLIKA.CO.ID, Perundingan yang diimpikan Pangeran Diponegoro dengan Belanda pupus sudah. Pengkhianatan pada 28 Maret 1830 itu telah menyisakan kepedihan dan kekecewaan terdalam bagi sang pangeran.
Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan, Belanda merayakan kemenangan. Seperti pada umumnya, sejarah akan selalu ditulis oleh para pemenang. Begitupula pembelokan kisah hidup Pangeran Diponegoro yang terus dilestarikan di buku-buku sejarah Indonesia.
Sejarawan sejarah Pangeran Diponegoro Peter Carey.
Sejarawan Profesor Peter Carey mengungkapkan bagaimana Belanda mendeskripsikan karakter Pangeran Diponegoro. Pangeran tertulis sebagai penentang modernisasi oleh Belanda. Pemberontakan yang dilakukan pangeran karena tidak diangkat menjadi sultan.
"Itu adalah hoaks yang diabadikan," kata Peter di Jalan Pekalongan, Kota Malang.
Kini sejarah Pangeran Diponegoro mulai terkuak melalui penelitian yang telah dilakukan Peter Carey. Satu di antaranya bagaimana sesungguhnya kekhawatiran Belanda terhadap Pangeran Diponegoro. Gaung pangeran yang tak kunjung padam meski dirinya telah ditangkap dan diasingkan jauh dari Pulau Jawa.
Diponegoro Setelah Perang Jawa
Tak lama setelah penangkapan pangeran, terdengar sebuah mitos di Belanda. Mitos ini mulai terasa melalui sketsa dari mantan hakim Batavia, Adrianus Johannes. Sketsanya masuk pasaran umum melalui litografi CCA Last (1835). Lalu mulai mengorbit sang pangeran di cakrawala sejarah dunia.
Menurut Peter, telah muncul satu kepercayaan di Belanda terutama kalangan atas. Ketika semua pusaka Diponegoro yang dirampas pada perang Jawa terkumpul menjadi satu, maka Hindia Belanda akan hilang. "Kepercayaan ini semakin kuat dua tahun setelah Last membuat litografi pangeran, waktu terjadi suatu peristiwa (informasi--red) di 'dua kamar panas dan menyedihkan Diponegoro di First Rotterdam, Makassar," ujar Penulis Buku Takdir ini.
Kekhawatiran para kolonial terhadap Pangeran Diponegoro tidak berhenti begitu saja. Pengasingan pangeran di Makasar telah memunculkan keprihatinan bagi putra bungsu Raja Willem II, Pangeran Hendrik. Sang pelaut muda ini sempat bertemu dengan pangeran lalu mengirim surat kepada ayahnya.
Di surat itu, Hendrik menceritakan bagaimana pangeran mengaku senang telah dikunjunginya. Namun di balik pengakuan itu, Hendrik menyaksikan ada semburat kepedihan di dalam diri pangeran. Di sisi lain, Hendrik tak menampik bahwa masih ada semangat membara yang tersimpan rapi pada sosok Diponegoro.
Merasakan pengalaman tersebut, Hendrik pun memperingatkan bahaya yang mungkin akan dialami Hindia Belanda di masa mendatang. Terlebih pada aspek bagaimana Belanda melakukan cara kurang tepat dalam menaklukkan Pengeran Diponegoro. Upaya licik itu akan mendatangkan pemberontakan serupa di pribumi terhadap Belanda.
Hendrik yakin sikap penolakan Imam Bonjol terhadap Belanda tidak lepas dari peristiwa yang dialami Pengeran Diponegoro. Tuanku Imam Bonjol menolak bernegosiasi dengan Belanda karena tidak ingin mendapatkan pengkhianatan serupa. Pada akhirnya, mereka lebih memilih melawan meski harus bersimbah darah.
Pengaruh Diponegoro yang mungkin terlewat oleh Belanda adalah para laskarnya. Lukisan dahsyat Raden Saleh tentang "Penangkapan Diponegoro" (1857) telah menunjukkan terdapat satu gerombolan yang luput dari kesadaran Belanda. "Ini bisa menjadi 'kuda troya' kepada Raja Belanda," jelas pria kelahiran 1948 ini.
Setelah penangkapan pangeran, para laskar langsung menyebar dari Jawa Tengah ke selatan Jawa Timur. Mereka melakukan perjalanan melalui pegunungan dekat Pantai Selatan. Di tempat baru seperti Pacitan, Trenggalek, Kediri, Kabupaten Malang dan Blitar, para laskar mulai membangun komunitas baru.
Menurut Peter, Jawa Timur saat itu diterangkan sebagai daerah kosong dan berhutan lebat. Wilayah ini mengalami depopulasi sejak era Untung Suropati (1645 hingga 1706). Bahkan, terdapat keterangan yang menyebutkan wilayah semisal Kediri kala itu penuh dengan pohon raksasa dan macan tutul.
Di antara laskar yang tersebar, Peter menyebutkan, salah satu contoh yang berada di Blitar. Ialah keluarga Djojodigdan yang berhasil hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar. Bahkan, rumah maupun makam keturunan laskar Diponegoro ini masih dapat dijumpai di Blitar.
Pada aspek kebudayaan, laskar Diponegoro juga telah berhasil memberikan pengaruhnya. Gerakan tari Reog Bulkio di Nglegok dinilai terinspirasi dari pasukan elit Diponegoro. "Dan ada juga di bidang arsitektur di Langgar Gantung di Plosokerep, Blitar," terangnya.
Gaung Pangeran Diponegoro juga dirasakan di dunia pesantren. Pengaruh Diponegoro sebagai mursyid tarekat satariyah hadir di beberapa wilayah. Beberapa di antaranya di Takeran, Jamsaren, Krapyak, Kalibeber, Kalioso, Solotiyang dan Melangi.
Belanda dan Keluarga Pangeran Diponegoro
Setelah Pangeran Diponegoro wafat, ketakutan Belanda sepertinya tidak hilang begitu saja. Dalam buku Takdir, Peter menjelaskan, Hindia Belanda telah mengeluarkan dekrit agar istri dan anak-anak pangeran dibatasi pergerakannya. Keluarga pangeran juga mendapatkan lahan dan pekerjaan layak dengan harapan keturunan Diponegoro tidak akan terlibat dengan gerakan anti-Belanda.
Perlakuan khas Hindia Belanda juga ditunjukkan pada cucu Diponegoro, Raden Mas Dipoatmojo. Pada 5 September 1875, pria yang dikenal dengan sebutan Diepo Atmodjo ini ditangkap di Yogyakarta. Dia dilaporkan menjadi kepala gerombolan rampok (ketjoepartij) di ibukota kesultanan.
Menurut Peter, sang cucu pangeran saat itu tengah tertangkap basah merampok rumah pedagang Tionghoa. Namun Pemerintah Hindia Belanda tidak berani mengeksekusinya. "Mengapa? Alasannya, seorang penduduk lokal yang merupakan keturunan Pangeran Diponegoro, tidak harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Hidup Dipoatmojo terselamatkan dan ini membuat masyarakat Belanda resah dan marah besar," tegas Peter.
Terakhir, Peter juga mengaku, melihat ironi begitu besar bagaimana Diponegoro saat ini. Menurutnya, belum ada film yang secara komprehensif mengangkat kisah Pangeran Diponegoro dan keturunannya. Satu di antaranya tentang Tjokroaminoto yang melibatkan Maia Estianty sebagai keturunannya.