REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyambut fajar abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda mulai memberlakukan Politik Etis di tanah jajahannya, Indonesia (Hindia Belanda). Kebijakan ini memang bertopeng “mulia”, yakni memerhatikan nasib kaum Pribumi.
Namun, pada hakikatnya apa yang dinamakan "panggilan moral dan hutang budi" (een eerschuld) sebatas slogan saja. Kebanyakan rakyat justru kian sengsara. Daniel Dhakidae (2003: 70) menyimpulkannya sebagai berikut: “Tidak pernah suatu komunitas cendekiawan ‘dihasilkan’ secara kualitatif dan kuantitatif sebesar itu selain pada masa ini [Politik Etis]. Namun, berbarengan dengan itu, juga tidak pernah kekerasan dijalankan secara sistemik seperti pada masa ini.”
Yang disebutnya “komunitas cendekiawan” adalah kalangan Pribumi yang terdidik secara Barat-sekuler. Memang, awal abad ke-20 menyaksikan munculnya golongan terpelajar di Tanah Air.
Pemerintah kolonial mulai membuka banyak sekolah, terutama pada kota-kota besar di Jawa dan Sumatra. Walaupun kurikulumnya sebagian besar mengadopsi yang berlaku di Negeri Belanda, pemberlakuannya tetap saja timpang. Pemerintah melanggengkan stratifikasi sosial.
Sebagai contoh, ada sekolah-sekolah yang diperuntukkan khusus bagi anak-anak bangsa Eropa atau yang disetarakan. Maka dari itu, tidak semua Pribumi, apalagi yang tidak berdarah ningrat, dapat memasukinya.
Dampak untuk pesantren
Dengan hadirnya Politik Etis, dunia pesantren tampak semakin jauh dari paradigma politik kolonial. Jajat Burhanuddin (2017: 329) mengistilahkan kalangan ulama dan santri pada masa itu sebagai “suatu yang lain yang terkonsolidasi.”
Artinya, mereka membedakan diri daripada banyak orang Pribumi yang sekuler (baca: abangan), apatah lagi penguasa Hindia Belanda. Mereka memiliki dunianya tersendiri, tetapi mantap mengakar ke tradisi.
Di Tanah Air, banyak orang terpelajar Pribumi di perkotaan yang tertarik pada modernisme. Paham ini tersebar luas tidak hanya melalui edukasi yang diterima di sekolah-sekolah formal, tetapi juga media massa cetak. Koran mulai marak bermunculan saat itu. Di antara kaum terpelajar itu lalu membentuk berbagai organisasi untuk mengejawantahkan semangat kemajuan.