REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wilda Fizriyani
Begitu minim, itulah yang dirasakan Pegiat Komunitas Soeracarta Heritage Society, Yunanto Sutyastomo dalam mencari informasi tentang Pontjo Pangrawit. Tak ada data yang mumpuni untuk mengungkapkan pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia sekaligus maestro musik Jawa tersebut.
Yunanto hanya tahu Pontjo pernah berkegiatan kesenian di tiga periode kepemimpinan Keraton Surakarta. Aktivitas karawitannya dimulai dari masa Pakubuwono X hingga XII. Pontjo juga tercatat pernah menjadi guru di Konservatori Karawitan (KOKAR) dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta.
Menurut Yunanto, Pontjo memiliki pengaruh kuat di ASKI (sekarang ISI Surakarta) kala itu. Namun, tanpa diketahui alasan pasti, sang maestro mengundurkan diri dari lembaga tersebut pada 1964.
"Lalu di 1965 tidak ada sama sekali (hilang)," kata Yunanto dalam kegiatan diskusi yang diadakan Heuristik di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang (UM), belum lama ini.
Pontjo Pangrawit dalam Sejarah Indonesia
Di dunia keraton, Slamet Sukari (nama asli Pontjo Pangrawit) telah menjadi abdi dalem di era Pakubuwono X sejak usia 12 tahun. Ia kemudian memperoleh gelar Raden Pangrawit pada 1912. Namun, gelar ini tidak pernah disematkan pada Pontjo selama hidupnya.
"Dia lebih senang menyematkan nama yang dia buat sendiri, Pontjo Pangrawit," kata sejarawan dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Kuncoro Hadi
Tak hanya dunia kesenian, Pontjo Pangrawit juga terlibat dalam aktivitas politik. Hal ini wajar mengingat Surakarta di awal abad 20 menjadi tempat penting dalam pergerakan nasional.
"Surakarta menjadi ruang radikal yang menggerakkan massa untuk menjadi anti-kolonial," terang Kuncoro.
Selain itu, salah satu keluarga Pontjo juga tercatat menjadi salah satu tokoh di Sarekat Rakyat. Oleh sebab itu, bukan sesuatu yang luar biasa apabila Pontjo terlibat dalam dunia politik.
Secara umum, Kuncoro mengungkapkan, terdapat kejadian yang perlu diperhatikan dari sosok Pontjo Pangrawit. Ialah kejadian besar pada November 1926 di Pulau Jawa dan Sumatera.
"Itu turut terjadi di Surakarta dan Pontjo ada di sana," tegasnya.
Di dalam beberapa literatur sejarah diungkapkan telah terjadi pengrusakan dan pembakaran simbol-simbol kolonial di berbagai daerah. Kejadian ini pun menghadirkan tindakan pembuangan bagi sejumlah tokoh, termasuk Pontjo Pangrawit. Dia menjadi kelompok pertama yang ditangkap dan dibuang ke Digul.
"Margaret Kartomi (penulis buku) menyebutkan pada Maret 1927, Pontjo dibuang ke Digul. Pada waktu itu, dia masih berusia 29 tahun dan harus meninggalkan anak serta istrinya," jelasnya.
Kamp interniran Boven Digul terbagi menjadi dua tempat, yakni Tanah Merah dan Tanah Tinggi. Tanah Tinggi diperuntukkan tahanan yang keras kepala seperti Ali Arkham. Sementara pada orang-orang yang mau bekerja sama dengan kolonial ditempatkan di Tanah Merah.
"Pontjo bukan kelompok keras kepala, jadi ditempatkan di Tanah Merah," tambahnya.
Selama menjadi tahanan, Pontjo banyak melakukan kegiatan termasuk menciptakan gamelan Digul. Sebuah alat musik yang di kemudian hari berlayar sampai Australia sejak 1977.
Pontjo sempat mendapatkan hukuman karena gamelan Digulnya. Hal ini lebih tepatnya ketika dia menyambut para interniran baru di 1928. Musik bernuansa perjuangannya dianggap simbol pembangkangan terhadap pemerintah kolonial.
Sekitar 1932, Pontjo akhirnya dikembalikan ke daerah asalnya, Surakarta. Ia pun kembali aktif di keraton sampai akhirnya mengundurkan diri pada 1948. Setelah itu, dia mulai mendedikasikan diri sebagai pengajar karawitan di KOKAR dan ASKI.
"Dan sesudah itu, dia dikenal sebagai Pontjo Digul. Pada 1950, dia diberi gelar oleh presiden sebagai pahlawan perintis kemerdekaan walau resminya tahun 1964 melalui SK Mensos," terang Kuncoro.
Menariknya, Kuncoro mengaku, menemukan data dari penulis buku Margaret Kartomi tentang status Pontjo Pangrawit. Pontjo terdata sebagai anggota aktif Lekra dan tidak diaktifkan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut di dalam tulisan Margaret, tapi Kuncoro memiliki analisis tersendiri terkait hal tersebut.
Menurut Kuncoro, telah terjadi penerapan konsep realisme sosialis atau realisme revolusioner. Pada 1960, seni dan sastra harus realisme yang revolusioner. Artinya, seni imprealis dan feodal tidak masuk ke dalamnya.
Karawitan di era tersebut tidak termasuk dalam kategori realisme revolusioner. "Sehingga karawitan ikut dihantam. Dan ini jadi problematika juga kalau tetap menempatkan Pontjo, meski di sisi lain dia sudah tua juga. Jadi secara politik, dia sudah tidak aktif walau pernah menjadi bagian penting di abad awal sebagai perintis kemerdekaan," jelasnya.
Pontjo Pangrawit Dihilangkan
Sekitar Oktober 1965, telah terjadi peristiwa besar yang dikenal dengan Kentong Gobyok. Kejadian ini bermula pada 22 - 23 Oktober di mana telah bermunculan aksi demonstrasi. Aksi ini terjadi lebih tepatnya ketika Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) mulai memasuki wilayah tersebut.
Pada masa-masa tersebut terekam telah terjadi pembunuhan oleh simpatisan PKI terhadap 13 orang non-Komunis di Kedung Kopi. Lalu jasad mereka dibuang ke Bengawan Solo. Kudeta lokal ini yang kemudian menjadi salah satu pemicu "pembalasan lebih besar" secara nasional.
Sebuah laporan di Januari 1966 mengungkapkan, telah terjadi pembunuhan sebanyak 10 ribu orang di Jawa Tengah (Jateng). Sementara masyarakat yang ditahan sekitar 70 ribu orang.
"Tapi data ini belum final waktu itu karena banyak laporan tidak jelas," tegasnya.
Di antara sejumlah wilayah lainnya, informasi data korban di Jateng terutama Surakarta sulit didapatkan. Lembaga terkait seolah-olah menutupi jumlah korban sesungguhnya. Hal ini yang kemudian melatarbelakangi penghilangan Pontjo pada era tersebut.
Peristiwa pada 22 hingga 23 Oktober 1965 telah memicu titik balik di mana kemudian terjadi pembersihan para komunis. Kelompok yang menjadi target utama di peristiwa ini, yakni elite partai.
"Dan Pontjo dianggap elite partai," katanya.
Tak hanya sebagai elite partai, latar belakang sebagai tahanan Digul bisa menjadi faktor pemicu penghilangan Pontjo. "Ini ironis, di mana pada 10 November 1965 dia yang telah mendapatkan gelar pahlawan tapi malah diambil dan dibuang," tambahnya.
Hal yang lebih disayangkan lagi, yakni saat Pontjo Pangrawit dihilangkan dari jejak sejarah perintis kemerdekaan. Suatu hal yang menyulitkan untuk menemukan catatan sejarah dari sosok tersebut saat ini. Padahal, dia merupakan satu dari sejumlah tokoh yang turut menggiatkan rasa kebangsaan di awal abad 20.
"Historiografi orde baru telah berperan dalam hal ini. Pontjo dihilangkan dua kali, dibunuh dan dilenyapkan dari sejarah sebagai pahlawan perintis kemerdekaan," jelasnya.