Kamis 22 Jun 2017 03:11 WIB
HUT Jakarta Ke-490

Bahasa Asli Jakarta Rawan Binasa

Pemain lenong berlakon pada acara Kota Cerdas dalam Kreasi Seni Budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Ahad (8/5).(Republika/Rakhmawaty La'lang )
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pemain lenong berlakon pada acara Kota Cerdas dalam Kreasi Seni Budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Ahad (8/5).(Republika/Rakhmawaty La'lang )

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dea Alvi Soraya, wartawan Republika

"Nyari sape Neng?” tanya seorang pria bertopi hitam ketika saya menginjakkan kaki di sebuah kebun salak. Saya menoleh ke belakang, mengulum senyuman sembari menjulurkan tangan dan menjelaskan maksud kedatangan. Pria itu bernama Syahruddin. Ia sudah 47 tahun tinggal di Kelurahan Balekambang, Kramat Jati, Condet, Jakarta Timur.

Perkebunan salak Condet itu memiliki luas sekitar tiga hektar. Kebun itu milik Pemprov DKI Jakarta di bawah naungan Sudin Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan (KPKP). Sehari-hari, Bang Udin, sapaan akrabnya, bekerja sebagai penjaga perkebunan buah yang menjadi maskot Jakarta bersama elang bondol.

Senin, 19 Juni 2017 siang, Udin mulai berbagi cerita bagaimana Condet tempo dulu dan perkembangannya hingga sekarang. “Dulu kalo abis Ashar udah kaga ada yang berani ke kebon saking lebetnye. Dulu sinar matahari kagak bisa masuk, gelap ketutup puun,” ujar Udin memulai ceritanya sambil ngasoh di saung yang tersedia di dalam kebun salak.

Banyaknya nyamuk yang hinggap di kulit kami, membuat Udin yang belum selesai bercerita, mengajak saya keluar dari kebun dan menuju Nyak Menah. Saat saya temui, perempuan berusia 82 tahun itu mengenakan kebaya dan sarung batik khas Betawi. Guratan keriput terpatri di kulit wajah. Sementara rambutnya tertutup jilbab merah muda.

Bibir berlapis gincu merah itu tertarik dan membentuk senyuman hangat. “Masuk Neng,” ucap Nyak Menah. Di atas dipan dalam rumah Nyak Menah, Udin kembali melanjutkan percakapan kami yang sempat tertunda. Udin mengatakan, Nyak Menah adalah salah satu sesepuh di Condet.

Nyak Menah juga merupakan salah satu pembuat cemilan khas Betawi yang masih setia hingga sekarang. “Nyak ini termasuk orang asli Condet yang paling tua di sini,” kata Syahruddin menjelaskan. Menurut dia, mayoritas penduduk yang tinggal di Condet, khususnya sekitar daerah perkebunan salak adalah pendatang dari luar jakarta, seperti Brebes, Solo, hingga Medan. Keadaan seperti ini, menurut Udin memaksa warga Betawi sebagai penduduk asli condet terpinggirkan, termasuk dirinya dan Nyak Menah.

“Pendatang semua ini, Nyak doang ndiri orang sini. Ada sih sono ponakannya, tapi (tinggal) di depan,” kata Udin.

Bahasa Betawi Condet, kata Udin mirip dengan bahasa Betawi tengah yang cenderung menggunakan akhiran “ye”. Saat berbicara dengan orang asli Condet, Udin biasanya menggunakan kata “ane-ente”. Namun karena mayoritas penduduk adalah pendatang, Udin lebih sering menggunakan bahasa Indonesia.

Perkembangan zaman dan dinding beton yang terus menerus menggerus rindangnya kebun salak Condet juga berimbas pada lunturnya bahasa Betawi warga asli Condet. Saat ini, anak muda condet sudah kesulitan memahami kosa kata bahasa Betawi seperti "Ngejogrog' (berdiam di satu tempat tanpa melakukan apa-apa) atau "Duplong' (melamun).

“Orang sekarang, bahasa Betawi modelan begitu kagak ngerti. Malahan ngebalikin, apaan sih ngejogrog?” kata dia.

Salah satu pelestari bahasa Betawi yang hingga saat ini aktif adalah Nyak Menah. Saban hari, perempuan yang mencari rezeki dari membuat makanan khas Betawi seperti lupis, uli, dan wajik ini memiliki cara yang unik untuk membudayakan bahasa Betawi, yakni lewat pantun. Seni bertutur dengan komposisi empat kalimat yang memiliki huruf akhiran yang sama di ujung katanya, hingga saat ini selalu menjadi daya tarik pembeli lupis Nyak Menah.

“Nyak suka mantun kalo lagi bikin lopis,” kata Nyak Menah. Dia mengaku belajar berpantun secara autodidak, dan tidak pernah mengikuti sanggar atau pelatihan khusus untuk berpantun. Pantun, kata Nyak hanya hiburan pengusir sepi saat dia membuat lopis yang menghabiskan waktu yang tidak sebentar. 

“Paling enak si mangga udang, pohonnya tinggi buahnya jarang. Paling enak si orang bujang, mau pergi tak ada yang larang. Kelapa muda kupas-kupasin, kelapa tua banyak minyaknya. Masih muda puas-puasin, udah tua kagak ada enak-enaknya. Anak ayam turun selosin, mati satu tingga sebelas. Anak perawan tidur mendusin, minta aer barang segelas,” ujar Nyak Menah dengar logat Betawinya yang kental. Pantun, kata Nyak sudah mengalir begitu saja dari bibirnya. Menurut Halimah, anaknya, Nyak Menah mampu berpantun selama satu jam tanpa berhenti dan tanpa mengulang pantun yang sama.

Condet hingga kini selalu konsisten mengembangkan budaya Betawi dengan menggelar festival budaya Betawi setiap tahunnya. Sebelumnya Condet sempat dilirik Pemprov DKI Jakarta untuk dijadikan perkampungan Budaya Betawi, namun karena sejumlah persoalan, rencana tersebut diurungkan.

Meskipun begitu, Festival Condet tetap menarik animo masyarakat untuk menikmati suasana kehangatan khas masyarakat Betawi. Bukan hanya Condet, wilayah lain seperti Rawa Belong, Kebon Jeruk, Jakarta Barat juga pengembangan budaya Betawi dengan cara yang sedikit berbeda.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement