REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Institute for Demographic and Property Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan ada sejumlah hal utama yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam mengakselerasi pembangunan perumahan rakyat. Hal itu menanggapi polemik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
“Beberapa kebijakan fundamental untuk akselerasi pembangunan perumahan rakyat yang seharusnya menjadi fokus pemerintah setidaknya lima hal utama. Pertama, dukungan anggaran yang memadai dan dikembalikannya Kementerian Perumahan Rakyat,” kata Yusuf saat dihubungi Republika, Kamis (6/6/2024).
Yusuf menjelaskan, sjeak penggabungan Kementerian PU dan Kementerian Perumahan Rakyat, pembangunan perumahan rakyat menjadi cenderung terabaikan, kalah dari gemuruh pembangunan infrastruktur. Alokasi anggaran untuk pembangunan perumahan rakyat selalu minimalis, termasuk untuk subsidi perumahan rakyat yang hanya di kisaran 250 ribu unit.
“Kedua, komitmen untuk penyediaan tanah dan menghapus biaya tinggi dalam pembangunan rumah rakyat, terutama di daerah perkotaan dimana lahan terbatas. Dengan pemberian kemudahan dan insentif, biaya pembangunan rumah rakyat dapat ditekan. Dukungan penuh dari pemerintah daerah mutlak dibutuhkan disini,” tuturnya.
Ketiga, komitmen untuk meminimalkan biaya produksi dan harga jual rumah rakyat, harus diikuti dengan komitmen meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan subsidi, pembebasan PPN, hingga kemudahan akses pembiayaan perbankan, menjadi hal yang krusial.
Keempat, revitalisasi BUMN untuk akselerasi pembangunan perumahan rakyat, terutama Perumnas, serta PLN dan PDAM untuk jaminan pasokan listrik dan air bersih. Di saat yang sama, dibutuhkan dukungan dari pengembang swasta, terutama melalui kewajiban pembangunan rumah murah.
“Terakhir, mendorong efisiensi perbankan dan menekan suku bunga KPR perbankan nasional,” kata dia.
Yusuf menuturkan, suku bunga KPR di Indonesia saat ini masih sangat tinggi dibandingkan negara lain di kawasan. Ketika suku bunga KPR di Singapura hanya di kisaran tiga persen, di Malaysia 5 persen, di Thailand 6 persen, di Indonesia sudah mencapai kisaran 10 persen.
Dengan suku bunga KPR tinggi dan umumnya bersifat floating, peminjam KPR selain dibebani biaya yang sangat mahal juga beresiko tinggi bila terjadi kenaikan suku bunga di masa depan.
“Kredit rumah yang sangat mahal dan berisiko tinggi inilah yang menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka backlog kita. Menjadi krusial bagi pemerintah dan OJK untuk mengarahkan dan mendorong perbankan agar menurunkan tingkat keuntungan mereka dan terus menurunkan suku bunga KPR serta membuatnya bersifat semakin flat,” kata dia.