REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Riba merupakan penyakit yang menjangkiti kehidupan ekonomi masyarakat di sepanjang sejarah. Melalui riba, segelintir orang menikmati kekayaan tanpa upaya yang semestinya.
Berbagai dalil Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW mengharamkan riba. Erwandi Tarmizi dalam Harta Haram Muamalat Kontemporer menjelaskan definisi riba, yakni “menambahkan beban kepada pihak berutang, atau menambahkan takaran saat tukar-menukar komoditas dengan jenis yang sama, atau tukar-menukar emas dengan perak—atau makanan dengan makanan—dengan cara yang tidak tunai.”
Dimusuhi oleh Allah
Perbuatan memakan harta riba adalah salah satu dosa besar menurut ajaran Islam. Allah Ta’ala memberikan perumpamaan bagi para pelaku riba: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata, ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’” (QS al-Baqarah:125).
Nabi Muhammad SAW juga pernah menasihati ihwal perkara ini, “Riba itu punya 70 pintu. Yang paling ringan (dosanya) adalah seperti seseorang menikahi ibunya sendiri. Yang paling berat ialah seseorang yang senantiasa merusak kehormatan saudara Muslimnya.”
Bahkan, Allah mengumumkan perang terhadap siapapun manusia yang sudah mengetahui besarnya dosa riba, tetapi enggan meninggalkan praktik-praktik riba. "Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya" (QS al-Baqarah: 279).
Umumnya mufasir sepakat, ayat ke-279 surah al-Baqarah ini merupakan peringatan terakhir kepada pemakan riba. Nada firman Allah Ta'ala itu pun jelas bersifat ancaman keras dan dihadapkan kepada orang-orang yang telah mengetahui hukum riba, tetapi mereka masih terus melakukannya.
Ini berarti bahwa mereka yang tidak mengindahkan perintah Allah sehingga disamakan dengan orang yang memerangi agama Allah. Mereka pun akan diperangi Allah dan Rasul-Nya.
Merusak sistem ekonomi
Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya, Haruskah Hidup dengan Riba? (1991) menerangkan, dampak sistem riba begitu buruk bila ditilik dari segi ekonomi murni. Sejumlah pakar ekonomi Barat pun mengungkapkan banyak cacat dari sistem ribawi. Bahaya riba dalam bentuknya yang paling kecil ialah ikut sertanya orang yang tak bekerja dalam hasil upaya orang lain hanya karena ia sudah meminjamkan uang kepadanya.
Riba hanya menciptakan tipe-tipe manusia yang malas bekerja dan takut mengambil risiko untuk mengembangkan hartanya. Padahal, sumber daya manusia adalah motor utama yang menggerakkan ekonomi.
Keadaan tersebut amat berbeda dengan sistem bagi hasil, di mana ketika si pengusaha untung, pemilik modal mendapatkan bagian keuntungan. Sebaliknya, kalau merugi, ia pun turut menanggung kerugian. Risiko ditanggung bersama antara pemodal dan pengusaha.
Awal mula penjajahan
Riba menjadi salah satu faktor yang ikut menjerumuskan dunia ke dalam prahara penjajahan. Caranya dimulai dengan sekelompok kreditur yang menawarkan pinjaman kepada beberapa negara.
Setelah tawaran itu dituruti, mereka kemudian turut campur dalam urusan pengelolaan sumber daya alam setempat. Secara sistematis, negara yang berutang terus-menerus diisap kemampuan finansialnya bahkan hingga nyaris bangkrut. Negara debitur itu tetap menerima utang.
Akan tetapi, utang yang ada justru dipakai untuk menutupi pembayaran bunga utang, alih-alih dialokasikan bagi kepentingan riil publik. Akhirnya, rakyat sangat dirugikan, sedangkan kalangan elite pemimpin kehilangan kepercayaan.