REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Tim Pengawas DPR mengkritik penyelenggaraan ibadah haji 2024. Salah satu kritik yang disampaikan kepada Kementerian Agama adalah temuan jamaah yang tidur di lorong-lorong tenda ketika mabit di Mina. Ternyata, penyebabnya bukan karena over capacity.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Anwar Abbas, mengungkapkan, penyebab jamaah haji tidur di lorong-lorong saat di Mina bukan karena tidak cukupnya kasur. Melainkan, ada jamaah yang meletakkan barang-barang di kasur yang bukan miliknya, sehingga jamaah yang seharusnya menempati kasur tersebut merasa sudah penuh dan memilih tidur di lorong-lorong tenda.
Saat dicek petugas ke tempat-tempat penginapan, kata dia, petugas meminta para jamaah berdiri di kasur mereka masing-masing. Ternyata yang mengejutkan banyak kasur yang kosong, tetapi herannya di kasur tersebut ada tas dan barang.
"Ketika oleh petugas ditanya ini tas dan barang milik siapa, ternyata itu adalah milik jamaah yang ada di sebelahnya. Hal ini kelihatannya juga telah menjadi penyebab adanya jamaah yang tidak kebagian tempat karena melihat ada tas dan barang di kasur yang ingin dia tempati serta juga ada rasa enggan untuk bertanya, maka dia mundur dan lebih memilih duduk dan atau tidur di lorong, " kata Buya Anwar Abbas di Madinah, Sabtu (22/6/2024).
Meski begitu, Buya Anwar Abbas menilai kehadiran tim pengawas dari DPR dan juga dari internal Kementerian Agama serta pihak lain membawa arti dan makna bagi kesempurnaan pelayanan terhadap jamaah haji. Karena dengan adanya kritik dan temuan-temuan tersebut pihak penyelenggara terus merespon dan menindaklanjutinya.
"Untuk itu ke depan para petugas semestinya ada yang standby di masing-masing tempat penginapan dengan memegang daftar nama penghuni sampai bisa dipastikan semua jamaah telah mendapatkan tempatnya," ujar dia.
Buya Anwar Abbas juga menyebut, kritik tentang kasur yang disediakan kekecilan serta posisinya terlalu rapat antara satu dengan lainnya. Hal itu memang tidak bisa dipungkiri.
Tetapi masalah ini juga tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan luas lahan yang terbatas, sementara jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun terus bertambah. Maka untuk menampungnya sudah jelas pihak maktab terpaksa memperkecil lebar dan memperpendek panjang dari kasur yang mereka sediakan.
"Akibatnya kalau para jamaah tidur memang akan membuat mereka risih karena jarak antara jamaah yang satu dengan yang lain terlalu dekat," kata dia.
Masalah lain dalam pelayanan haji yang menjadi sorotan DPR adalah keterlambatan datangnya makanan. Hal ini menurut petugas maktab disebabkan luas dapur yang mereka miliki hanya bisa untuk menutup kebutuhan satu maktab. "Sementara mereka harus menyediakan untuk dua maktab," ujar Anwar Abbas.
Jika memasak di luar kawasan Mina pun ternyata tidak bisa karena terbentur dengan kebijakan transportasi dari pemerintah Saudi yang melarang mobil membawa makanan masuk ke komplek pemukiman jamaah. Kalaupun bisa, kata Buya Anwar Abbas, juga tidak akan mudah karena dalam pengaturan lalu lintas di Makkah dan Mina banyak jalan ditutup untuk lalu lintas kendaraan.
"Sehingga jarak 8 km bisa ditempuh dalam waktu 2 jam dan kemungkinan terlambatnya suplai makanan tetap akan terjadi," ujar dia.
Masalah selanjutnya antrean di kamar mandi, tempat wudhu' dan toilet yang sangat panjang. Masalah itu disebabkan tidak berimbangnya jumlah sarana-prasarana kebutuhan jamaah tersebut dengan jumlah jamaah yang ada.
Jadi, masih kata dia, adanya masalah-masalah yang ditemukan tim pengawas terkait dengan masalah tempat, kasur, katering, tempat wudhu, kamar mandi dan toilet, semuanya jelas terkait dengan tugas dari pihak Masyariq. "Karena pihak Kemenag mendapatkan itu semua adalah lewat kontrak yang ditandatanganinya dengan pihak Masyariq."
Untuk itu dia meminta ke depan Kemenag harus lebih tegas lagi dalam bertransaksi dengan pihak Masyariq agar peristiwa serupa tidak terulang. "Tapi rasa-rasanya kasus serupa akan tetap terjadi apalagi jumlah kuota untuk kita terus bertambah," kata Buya.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, memang harus ada solusi yang lebih baik dan rasional dari perspektif sarana-prasarana maupun dari perspektif keagamaan. Seperti diketahui mabit di Mina itu masuk kelompok wajib haji. Jika tidak dilakukan maka jamaah harus membayar dam.
"Pertanyaannya bolehkah jamaah tinggal di hotel dan tidak tinggal di Mina tapi di malam hari jamaah berangkat jam 10 malam dari hotel untuk mabit sampai lewat tengah malam, kemudian mereka kembali lagi ke hotel?," kata dia.
Jika bolehpun dalam pelakanaannya tentu juga tidak mudah karena jarak antara hotel dengan tempat mabit di Mina juga cukup jauh, sehingga harus pakai mobil dan akibatnya mina sudah jelas akan macet total. Jadi kesimpulannya masalah-masalah yang ditemukan tim pengawas di Mina tersebut tetap akan sulit diatasi.
"Apalagi kemungkinan di tahun-tahun mendatang jumlah kuota jamaah haji kita terus meningkat, sementara luas lahan yang tersedia untuk dijadikan dapur, kamar mandi, tempat wudhu, toilet dan tempat penginapan jamaah tidak bertambah, sehingga masalah yang sama jelas akan masih terulang," kata Ketua PP Muhammadiyah ini.
Karena itu agar para jamaah dapat melaksanakan ibadah hajinya dengan baik dan tenang maka sarana prasarana tersebut di atas harus diperluas dengan cara mendirikan bangunan bertingkat di Mina tanpa itu maka masalah-masalah tersebut tidak akan pernah bisa teratasi dan terselesaikan. Untuk melakukan hal demikian jelas bukan tugas kemenag tapi menjadi tugas dari pemerintah setempat.
Mungkin sudah waktunya bagi pemerintah indonesia untuk meminta pemerintah Saudi agar membuat bangunan atau tempat penginapan bertingkat yang lebih baik dan memadai di Mina. Ini menurut Buya penting dilakukan karena yang mengalami masalah dalam hal ini tidak hanya jamaah haji indonesia saja tapi juga jamaah dari negara-negara lain.
"Yang juga sangat penting diperhatikan dalam masalah haji ini yaitu kehadiran jamaah yang tidak mempergunakan visa haji tapi visa turis, visa ziarah, calling visa dan lain-lain yang jumlahnya cukup banyak."
DPR juga mungkin perlu menghitung berapa jumlah jamaah haji Indonesia yang mengerjakan ibadah haji tidak mempergunakan visa haji tersebut agar perencanaan yang sudah dibuat tidak rusak, karena banyak dari mereka di Mina juga menempati dan menikmati fasilitas yang sudah disediakan oleh pihak Kemenag.
Lihat halaman berikutnya >>>