REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperingatkan sejumlah tantangan ekonomi yang akan dihadapi presiden terpilih, Prabowo Subianto. Direktur Eksekutif Indef Esther Tri Astuti mengatakan pemerintahan Prabowo akan berkutat pada persoalan ekonomi yang lama.
"Kita sudah menyelesaikan pemilu, sudah terpilih terpilih presiden baru. Namun presiden baru masih menggendong persoalan lama," ujar Eshter dalam seminar Indef bertajuk "Presiden Baru, Persoalan Lama" di Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Esther menyebut sejumlah persoalan lama akan menjadi beban bagi pemerintahan baru. Esther mencontohkan kualitas pertumbuhan ekonomi yang saat ini relatif menurun dan terlalu bergantung pada konsumsi rumah tangga. "Padahal kalau kita lihat mesin-mesin pertumbuhan ekonomi tidak hanya konsumsi rumah tangga, tapi investasi, ekspor, belanja pemerintah, hingga pajak," ucap Esther.
Esther mengatakan daya beli masyarakat dalam beberapa hari terakhir terus mengalami penurunan. Kemudian, kebijakan fiskal pun masih ketat. "Apalagi presiden terpilih sudah mencanangkan tax ratio harus naik sekitar 23 persen. Artinya generate income dari pajak harus ditingkatkan," sambung Esther.
Esther menyampaikan kebijakan moneter yang ketat juga akan menjadi beban bagi pemerintahan Prabowo. Esther mengatakan kondisi ekonomi, baik fiskal maupun moneter masih relatif ketat yang ditandai dengan tingkat suku bunga tinggi dan fluktuasi nilai tukar.
"Sehingga ini keadaan ekonomi yang relatif sulit jadi awal dari pemerintahan baru," lanjut Esther.
Esther menilai ruang fiskal pemerintahan Prabowo relatif lebih sempit dengan tax ratio berkisar di angka 8-10 persen, rasio utang sebesar 38 persen, dan kenaikan PPN menjadi 12 persen. Dengan demikian, pemerintahan baru harus memiliki solusi dalam meningkatkan penerimaan negara.
"Maka ke depan mau tidak mau generate income atau revenue negara harus terus diupayakan," ucap dia.
Esther menyampaikan beban pemerintahan Prabowo kian bertambah dengan penurunan performa industri manufaktur. Terlebih impor bahan baku masih terus membengkak karena nilai tukar terdepresiasi sehingga berdampak bagi industri manufaktur dan industri lainnya yang bergantung pada bahan baku impor.
"Persoalan lama lain ialah fungsi sektor keuangan yang dapat kredit masih terbatas. Artinya net interest margin masih relatif tinggi. Ini menjadi beban pemerintahan berikutnya," kata Esther.