Ahad 07 Jul 2024 14:22 WIB

Tidak Ada dalam Quran dan Hadits, Mengapa Muharram Disebut Lebaran Anak Yatim?

Asyura mengingatkan kita untuk peduli kepada anak yatim.

Sejumlah anak yatim berbuka puasa saat acara Republika Ramadhan Festival: Berbagi Bersama Yatim di Masjid At Thohir, Depok, Jawa Barat, Selasa (2/4/2024). PT Republika Media Mandiri kembali menggelar Republika Ramadhan Festival bertemakan Berbagi Bersama Yatim. Acara tersebut diisi dengan kegiatan santunan untuk ratusan anak yatim dan dongeng Islami yang disampaikan oleh Ustaz Jaka Umbaran.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah anak yatim berbuka puasa saat acara Republika Ramadhan Festival: Berbagi Bersama Yatim di Masjid At Thohir, Depok, Jawa Barat, Selasa (2/4/2024). PT Republika Media Mandiri kembali menggelar Republika Ramadhan Festival bertemakan Berbagi Bersama Yatim. Acara tersebut diisi dengan kegiatan santunan untuk ratusan anak yatim dan dongeng Islami yang disampaikan oleh Ustaz Jaka Umbaran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sebagian Muslim di Indonesia mentradisikan untuk menyantuni anak yatim pada 10 Muharram (hari Asyura). Bahkan, ada yang menyebut, tanggal 10 Muharram sebagai Lebaran Yatim.

Istilah yatim berasal dari saduran bahasa Arab, yang artinya adalah seorang anak dalam usia belum baligh telah ditinggal wafat oleh ayahnya. Sedangkan piatu adalah seorang anak yang belum baligh telah ditinggal oleh ibunya. Anak yatim piatu adalah gabungan dari keduanya, yakni seorang anak dalam usia yang belum balig telah ditinggal kedua orang tuanya.

Baca Juga

Anak yatim dan piatu sudah selayaknya untuk mendapatkan perlakuan yang istimewa. Mereka dididik dan dinafkahi secara tidak lengkap. Islam pun mengatur kedudukan mereka. Terdapat juga anjuran tentang anak yatim yang tertulis di Alquran. Bahkan Rasulullah pun pernah bersabda Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di Surga seperti ini.” Diiringi sebuah isyarat acungan jari telunjuk dan jari tengah yang berhimpitan.  (HR. Bukhari)

Sejatinya adakah dalil sahih terkait tradisi menyantuni anak yatim pada 10 Muharram? Bagaimana pula hukumnya?

Anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Wawan Gunawan Abdul Wahid mengungkapkan, dia tidak pernah menemukan hadits terkait menyantuni anak yatim pada 10 Muharram.

"(Apabila) merujuk hadis Nabi itu, ada peristiwa perayaan orang-orang Yahudi di Madinah itu tanda kemenangan Yahudi, Nabi Musa diselamatkan dari pengejaran Fir’aun. (Sementara) Nabi bersabda, ‘Kita merayakan yang berbeda dengan mereka pada 9-10 (Muharram) berpuasa'," kata Wawan kepada Republika, beberapa waktu lalu.

 
photo
Pada momentum bulan Muharram 1443 H, BMH Gerai Blora berbagi dengan anak-anak yatim di tiga desa yang ada di Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. - (Dok BMH)

Abu Musa RA berkata, "Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya. Maka, Rasulullah SAW bersabda, ‘Puasalah kalian pada hari itu’.”  (HR Bukhari).

Berdasarkan hadis Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafaz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2,  "Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”

Wawan menekankan, santunan pada bulan apa pun bagus saja, lantas mengapa dikhususkan pada 10 Muharram? “Mengapa tidak dikhususkan menjelang Idul Fitri supaya orang-orang miskin bisa berlebaran juga? Mengapa tidak pada 10 Dzulhijah supaya orang-orang miskin bisa merayakannya juga? Semua itu dirujukkan kepada dalil. Saya belum menemukannya, wallahu a'lam," ujar Wawan.

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement