REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Sumber di Eropa mengatakan Azerbaijan yang akan menjadi tuan rumah pertemuan Perubahan Iklim PBB tahun ini (COP29) membatalkan rencana untuk menetapkan tarif pada produsen bahan bakar fosil. Awalnya tarif itu untuk menaikkan dana perubahan iklim.
Kini Azerbaijan berencana meluncurkan dana baru di COP29 untuk investasi ramah lingkungan di negara-negara berkembang. Sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan awalnya Azerbaijan berencana menetapkan tarif pada produksi bahan bakar fosil untuk menaikkan dana penanggulangan perubahan iklim. Tapi rencana itu mendapat penolakan dari sejumlah negara.
"Kami menjalani beberapa perundingan dengan pihak-pihak yang khawatir, dengan kontributor potensial kami dan kami juga harus menyesuaikan gagasan dana untuk juga menarik kontributor potensial," kata sumber tersebut, dikutip Rabu (17/7/2024). "Azerbaijan akan menjadi salah satu kontributor utama dana ini."
Sumber menambahkan dana itu juga akan mencari kontributor sukarela dari negara penghasil bahan bakar fosil lainnya. Sumber lain yang juga mengetahui pertemuan itu mengatakan negara-negara penghasil gas dan minyak di Teluk Arab menolak gagasan tarif.
Revisi proposal gagasan itu bertujuan untuk menetapkan dana selama COP29 yang digelar bulan November mendatang. Serta menggunakan kemitraan swasta-pemerintah pada investasi rendah resiko untuk membantu negara-negara berkembang memangkas emisi mereka dan mengatasi dampak perubahan iklim.
Negara-negara berkembang kesulitan menarik investasi untuk energi bersih karena berbagai masalah termasuk bunga yang tinggi dan beban utang domestik. Menurut International Renewable Energy Agency selama dua dekade terakhir Afrika hanya menerima 2 persen investasi energi terbarukan dari total investasi seluruh dunia.
Masalah keuangan diperkirakan akan mendominasi pembicaraan di COP29 di Baku. Dalam pertemuan itu negara-negara akan mencoba menyepakati target pendanaan perubahan iklim yang baru, di mana negara-negara kaya akan menyerahkan dana perubahan iklim ke negara-negara miskin setiap tahun mulai dari tahun 2050.