REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain Majapahit, Sriwijaya dikenal sebagai satu dari dua kerajaan terbesar di nusantara. Kerajaan yang menjadi pusat penyebaran agama Buddha tersebut berdiri dari abad ke-7 hingga 12 Masehi. Daerah kekuasaannya meliput wilayah Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra dan sebagian jawa.
Kasori Mujahid dalam buku Di Bawah Panji Estergon mengutip Yaqut Shihab al-Din ibn-Abdullah al Rumial-Hamawi dalam Mu’jam al Buldan. Kitab tersebut menerangkan jika Sribuza, Zabaj atau Sriwijaya adalah kerajaan terkenal saat itu. Para pedagang Arab dan Persia pun sering datang ke kerajaan yang berpusat di tepi Sungai Musi.
BACA JUGA: Perubahan Bentuk Gunung Gede Saat Hari Kiamat Diungkap Alquran?
Interaksi antara pedagang Arab dan Persia dengan Sriwijaya merupakan faktor penting yang mendorong Maharaja Sriwijaya mengirim surat kepada Khalifah Bani Umayyah.
Sayyid Qudratullah Fatimi (S.Q Fatimi) dalam Two Letters from Maharaja to The Khalifah mengidentifikasi addenda (lampiran) surat Raja Sriwijaya kepada Khalifah Bani Umayyah, yakni surat kepada Muawiyah dari kitab Al-Hayawan, karya Abu Usman Amr Ibn Bahr atau dikenal dengan Al-Jahiz (776-869 M/150-255 H).
Fatimi mencatat, surat itu ditemukan di sebuah diwan (sekretariat) Khalifah Mu’awiyah oleh Abdul Malik bin Umair dalam lemari arsip Bani Umayyah yang disampaikan kepada Abu Yusuf ats-Tsaqofi. Surat ini terdapat pada sub bab Kitab Malik as-Sin. Fatimi menerjemahkan as-Sin dengan al-Hind dengan salah satu alasan bahwa surat ini memiliki gaya tipikal surat resmi penguasa Kepulauan Hindia (Malik al-Hindi).
“Al Haytsam bin Adi telah menceritakan dari Abu Ya’qub al-Tsaqafi, dari Abdul Malik bin Umair berkata bahwa ia melihat dalam sekretariat Khalifah Mu’awiyah (setelah ia meninggal) sebuah surat dari Raja al-Shin bertuliskan: dari Raja-al-Shin yang di kandangnya terdapat ribuan gajah, yang istananya terbuat dari bata emas dan perak, yang dilayani oleh ribuan anak perempuan raja-raja dan yang memiliki dua sungai yang mengairi Gaharu, kepada Muawiyah.“
Surat yang terdapat dalam kitab al-Jahidz ini sebatas pembuka surat saja, belum merupakan intinya. Fatimi menyatangkan terpotongnya kutipan al-Jahidz mengingat surat dikirim dari negeri yang jauh untuk khalifah pertama setelah Khulafa ar-Rasyidin.