REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan ada 893 pengaduan persoalan anak dari awal tahun hingga Juli 2024. KPAI meyakini bahwa angka sebenarnya di lapangan masih sangat besar, mengingat banyak kasus yang tidak melapor.
“Angka ini adalah fenomena puncak gunung es yang sebenarnya sangat besar sehingga kiranya Hari Anak Nasional (HAN) ini bisa menjadi momen tepat bagi kita semua untuk bisa menguatkan komitmen dalam melindungi anak,” kata Wakil Ketua KPAI Jasra Putra, kepada Republika.co.id pada Selasa (23/7/2024).
Ia menjelaskan bahwa KPAI dalam melakukan pengawasan memiliki dua sisi, pertama pengawasan yang melekat sebagai tugas dan melaporkannya kepada Presiden. Lalu kedua, sisi pengawasan melalui mata masyarakat yang terwujud dalam penerimaan pengaduan, baik dari anak secara langsung, orang tua, media, bahkan menerima nya langsung dari beberapa negara.
“Data-data yang tersaji saat ini, tentang situasi dan kondisi perlindungan, pengawasan dan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak memang tidak membahagiakan,” kata Jasra.
Jasra mengatakan KPAI yang memiliki mandat besar untuk melakukan pengawasan kepada setiap penyelenggaraan perlindungan anak, tidak memiliki banyak kepanjangan tangan dalam menjawab berbagai persoalan anak. Karenanya dia mengajak semua pihak untuk mengambil peran sekecil apapun dalam membantu melindungi anak.
“Bahwa sekecil apapun peran yang kita lakukan sekarang, adalah sangat penting, dalam rangka memajukan perlindungan anak. Terutama mempersiapkan calon keluarga yang tangguh, keluarga tangguh, lingkungan yang Tangguh,” kata Jasra.
KPAI juga mengingatkan semua leading sektor, terutama pemerintah, termasuk industri untuk kembali berinvestasi besar untuk masa depan generasi muda. Ini dinilai penting agar anak mampu menghadapi persoalan dan menyambut masa depan sebagai generasi emas, bukan generasi cemas.
“Meski kita di tengah generasi yang mudah menyerap informasi dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Namun ujungnya jadi disrupsi informasi, yang tidak kuat ditahan secara mental. Sehingga generasi digital kita mudah terjebak perilaku salah. Jadi kalau kita mau keluar dari jebakan sulit ini adalah, pada penguatan program, yang ke depan diharapkan jadi penopang masalah lainnya,” kata dia.