REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mesir merupakan negeri Islam yang sangat populer dalam bidang budaya dan ilmu pengetahuan. Terutama sejak masa pemerintahan Dinasti Fathimiyah, negara di delta Sungai Nil itu masyhur akan institusi al-Azhar. Lembaga pendidikan yang berlokasi di Kairo itu telah mencetak banyak tokoh berpengaruh global.
Zuhairi Misrawi dalam Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi dan Kiblat Keulamaan menjelaskan, kedatangan Mahasiswa Indonesia ke Mesir untuk belajar di al-Azhar merupakan salah satu bukti pengaruh institusi pendidikan ini di Nusantara. Itu sudah berlangsung sejak sekitar satu abad sebelum kemerdekaan RI.
Hubungan antara Mesir dan Indonesia terus berlangsung secara intens, terutama dalam misi perdagangan dan proliferasi Mazhab Syafi’i.
Kedatangan orang-orang Nusantara di Mesir dapat dilacak setidaknya sejak 1850-an. Mereka tidak mempunyai misi perdagangan, sebagaimana orang-orang Mesir ketika datang ke Nusantara. Yang dilakukan oleh orang-orang Jawi--demikian sebutannya--adalah menimba ilmu di Masjid al-Azhar, yang lantas menjadi cikal bakal Universitas al-Azhar.
Bukti kehadiran orang Jawi di sana adalah Riwaq al-Jawi atau asrama orang-orang Jawa. Ali Mubarak dalam Al-Khuthath al-Tawfiqiyyah al-Jaddidah li Mishr al-Qahirah menyatakan, kompleks bangunan itu terletak di antara Asrama Salmaniah dan Asrama Syawwam.
Jumlah penghuninya tidak terlalu banyak. Pada 1871, para pelajar asal Jawa sekitar enam orang. Pada 1875, mereka meninggalkan al-Azhar.
Menurut Martin Van Bruninessen (1992), orang Nusantara yang pertama kali belajar di al-Azhar adalah Abdul Manan Dipomenggolono. Ia merupakan pendiri Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, dan juga kakek dari Syekh Mahfudz Tremas.
Dijelaskan dalam situs resmi Nahdlatul Ulama (NU) Online, KH Abdul Manan Dipomenggolo tinggal di al-Azhar, Mesir, sekitar tahun 1850 M. Ia berguru kepada Ibrahim al-Bajuri, pengarang kitab Umm al-Barahin.
Selain KH Abdul Mannan, Imam Nawawi al-Bantani, termasuk deretan ulama yang pernah belajar dan bahkan mengajar di Mesir. Arief Sukino dalam Dinamika Pendidikan Islam Di Mesir dan Implikasinya terhadap Transformasi Keilmuan Ulama Nusantara menyebut perihal itu.
Usai menempuh pendidikan di Makkah, Syekh Nawawi al-Bantani meneruskan perjalanan ke Syam dan Mesir. Karena sangat terkenalnya, ia pernah diundang ke al-Azhar, Mesir, untuk menyampaikan ceramah kepada khalayak luas atau memberikan fatwa-fatwa terkait sejumlah perkara.
Tidak jelas tahun berapa Syekh Nawawi diundang oleh ahli akademik di Universitas al-Azhar tersebut. Namun, ia diketahui sempat bertemu dengan Syekh Ibrahim al-Baijuri (wafat 1860 Masehi).
Jajat Burhanuddin dalam Ulama dan Kekuasaan menerangkan, Mesir menejadi tempat penerbitan sejumlah buku karya Syekh Nawawi. Misalnya, Lubab al-Bayan (1884), Dzari’at Yaqin (1886), Suluk al-Jaddah (1883), dan Sulam al-Munajah (1884).