Jumat 30 Aug 2024 16:49 WIB

Skema Subsidi KRL Berbasis NIK Kontraproduktif dengan Kampanye Pakai Trasportasi Umum

Pemerintah dinilai sepertinya memiliki agenda menaikkan tarif KRL.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Friska Yolandha
KRL melintas di samping Stasiun Pondok Rajeg yang telah selesai dibangun, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (30/7/2024). Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyatakan Stasiun Pondok Rajeg di Cibinong Bogor siap beroperasi kembali dalam waktu dekat, dan pihaknya  mengungkap dokumen perizinan dan fasilitas layanan telah selesai 100 persen.
Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
KRL melintas di samping Stasiun Pondok Rajeg yang telah selesai dibangun, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (30/7/2024). Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyatakan Stasiun Pondok Rajeg di Cibinong Bogor siap beroperasi kembali dalam waktu dekat, dan pihaknya mengungkap dokumen perizinan dan fasilitas layanan telah selesai 100 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah turut berbicara perihal wacana skema pemberian subsidi KRL Jabodetabek menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Ia menilai pemerintah sepertinya memiliki agenda menaikkan tarif KRL.

Pada praktiknya ada pengurangan jatah subsidi nantinya. Saat ini dipukul rata. Semua pengguna sarana transportasi tersebut, membayar dengan harga yang sama.

Baca Juga

"Ya kalau saya melihat  ini agenda untuk menaikkan tarif mas," kata Trubus kepada Republika.co.id, Jumat (30/8/2024).

Mengenai hal itu, menurtnya belum ada urgensinya,. Pasalnya, kondisi ekonomi masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Ia mengacu pada data BPS perihal adanya penurunan kelas.

"Saya khawatir ini malah kontraproduktif dengan kebijakan yang selama ini, di mana masyarakat didorong menggunakan transportasi umum," ujar Trubus.

Jika ada kenaikan tarif, maka individu yang selama ini memakai jasa KRL, berpotensi kembali menggunakan kendaraan pribadi dalam setiap aktivitasnya. Efek dominonya ke berbagai arah. Bisa memperparah kemacetan. Lalu banyaknya kendaraan melintas, justru menambah polusi. 

"Maka itu efek dominonya harus dipertimbangkan," ujar Trubus.

Ia menyarankan pemerintah atau stakeholder terkait sebaiknya meningkatkan pelayanan KRL terlebih dahulu. Sehingga ketika ada pemberlakuan tarif baru berdasarkan kelas, tidak mengurangi minat pelanggan. Tentunya, harus ada perbedaan fasilitas yang didapatkan penumpang bersubdisi dengan yang tidak.

Dalam Dokumen Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025 disebutkan subsidi PSO dalam RAPBN tahun anggaran 2025 direncanakan sebesar Rp 7.960,1 miliar (Rp 7,9 triliun). Lebih rinci lagi, anggaran belanja Subsidi PSO tahun anggaran 2025 yang dialokasikan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp 4.797,1 miliar (Rp 4,79 triliun) untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api antara lain KA ekonomi jarak jauh, KA ekonomi jarak sedang, KA ekonomi jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, KRD ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan LRT Jabodebek.

Ada poin dimana penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek. Dengan perubahan skema subsidi berbasis NIK, artinya tidak semua masyarakat bisa menerima layanan KRL dengan harga yang seperti sekarang.

"Penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek," demikian kutipan isi dokumen tersebut.

Sejak 2016 tarif KRL Jabodetabek masih sama. Besaran tarifnya sebesar Rp 3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama dan ditambah 1.000 untuk setiap 10 kilometer.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement