KINGDOMSRIWIJAYA – Ini tentang dua tradisi atau warisan budaya, ada yang menyebutnya kearifan lokal, yang serupa tapi tak sama. Serupa dalam segala hal tapi tak sama sebutannya. Yang satu menyebut “lomba bidar” yang lainnnya menyebut “pacu jalur”.
Dua kearifan lokal atau tradisi yang ada di bumi Nusantara tersebut, “lomba bidar” ada di Palembang, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) dan “pacu jalur” ada di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau. Pacu jalur di Kuantan Singingi telah berlangsung 21-25 Agustus 2024, lomba bidar di Palembang tepatnya di sungai Musi berlangsung 29–31 Agustus 2024.
Dua kegiatan ini sama-sama mampu menarik minat ribuan orang untuk datang menonton langsung dan sama-sama menjadi agenda wisata dari kedua daerah tersebut. Untuk pacu jalur 2024 masuk dalam “Top 10 Karisma Event Nusantara” (KEN) 2024 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Lomba bidar di Palembang masuk dalam daftar 110 KEN 2024, adalah even yang diadakan setiap tahun khususnya pada perayaan HUT Republik Indonesia. Tapi ada juga yang diselenggarakan pada HUT Kota Palembang. Lomba bidar juga kerap disebut “lomba bidar tradisional” juga menjadi pesta rakyat Palembang dan daerah lainnya di Sumsel yang sengaja datang ke Palembang.
Disebut pesta rakyat, karena selain lomba bidar yang dipusatkan di pelataran Benteng Kuto Besak (BKB) persis di tepi sungai Musi, ada juga lomba lainnya seperti lomba perahu atau kapal hias, lomba kampung hias dan atraksi kesenian serta kebudayaan lainnya, yang penontonnya bukan hanya Palembang tapi dari daerah lain di Sumsel.
Pada lomba Bidar 2024, diikuti sembilan tim yang berasal dari kabupaten dan kota di Sumsel. Menurut data Dinas Pariwisata Palembang, lomba bidar tahun ini disaksikan lebih dari 15.000 sampai 30.000 penonton yang datang memadati pelataran Benteng Kuto Besak (BKB), ada yang menyaksikan dari atas Jembatan Ampera dan Jembatan Musi VI serta dari pemukiman warga yang ada sepanjang tepian sungai yang membelah kota Palembang menjadi sabelah ilir dan sebelah ulu.
Lomba bidar yang mengarungi sungai Musi dengan mendayung sejauh 800 meter, start dimulai dari Pelabuhan 35 Ilir dan finish di pelataran BKB atau sekitar jembatan Ampera. Pada tahun 2024 panitia menetapkan perahu bidar yang digunakan panjangnya 29 meter dengan jumlah pendayung 55 orang dengan dua orang pemberi semangat berposisi di depan dan belakang bidar. Berhasil keluar sebagai juara pertama tim Kabupaten Ogan Ilir (OI) behak atas hadiah sebesar Rp25.000.000. Juara kedua diraih tim Kabupaten Pali A dan juara ketiga tim PUPR Kota Palembang, masing-masing menerima hadiah sebesar Rp22.500.000, dan Rp20.000.000.
Asal Usul Lomba Bidar
Mengutip wartawan pecinta sejarah, Dudi Oskandar jumlah tim peserta lomba bidar saat ini sangat jauh berbeda dengan era tahun tahun 1960-1970-an. “Pada masa lalu lomba perahu bidar di Palembang diikuti oleh puluhan tim. Sekarang jumlahnya lebih sedikit, tahun 2024 peserta lomba bidar kurang dari 10 tim”, katanya.
Menurutnya, lomba bidar makin lama makin sepi. “Ini disebabkan karena peserta lomba bukan lagi dari masyarakat tetapi atas nama perusahaan atau pemerintah daerah. Ditambah kurangnya perhatian dan pembinaan dari pemerintah menyebabkan melemahnya kualitas perlombaan bidar”.
Dengan jumlah yang tidak banyak tersebut, lomba bidar yang berlangsung setiap tahun telah mampu menjaga lomba bidar sebagai tradisi dan kearifan lokal di Palembang atau Sumsel.
Jika menelusuri asal-usul lomba bidar dengan pertanyaan kapan pertama kali diadakan? Maka jawabannya ada beberapa versi. Semuanya mungkin, benar karena memang lomba ini menggunakan perahu yang didayung beberapa orang melintas di sungai.
Kata “bidar” sendiri adalah kata yang dikenal pada lingkup masyarakat Melayu, selain di Palembang, kata “bidar” juga bisa ditemukan pada masyarakat seperti di Kalimantan Barat, bahkan di Singkawang juga ada lomba bidar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “bidar” memiliki arti perahu perang atau sampan bidar.
Ada versi yang menyebutkan, lomba perahu bidar sudah ada era Kesultanan Palembang. Lomba diadakan untuk memberikan semangat kepada tim patroli sungai dalam menjaga kedaulatan wilayah kekuasaan kesultanan dan menjaga keamanan sungai Musi sebagai jalur utama perdagangan dari para perampok. Pada masa itu, untuk melakukan pengamanan dibentuk tim patroli yang diperkuat oleh puluhan pedayung gagah dan berani untuk mengayuh perahu berukuran panjang.
Versi keterangan lain juga ada cerita legenda di tengah masyarakat, lomba bidar antara dua orang yaitu, seorang pangeran dengan seorang pemuda dari uluan. Pertandingan bidar ini dipicu perebutan seorang gadis bernama Dayang Merindu. Di akhir pertandingan, kedua pemuda tewas karena sama-sama kelelahan. Puteri Dayang Merindu dikisahkan bunuh diri, karena tidak sanggup menahan kesedihan.
Fakta lain menyebutkan, lomba bidar mulai berlangsung pada tahun 1898. Masa itu lomba bidar dilaksanakan sebagai peringatan ulang tahun Ratu Wilhelmina yang lahir 31 Agustus 1880. Versi pada pelaksanaan berikutnya, didukung oleh beberapa foto hitam yang ada di perpustakaan atau pusat dokumentasi yang ada di Belanda dan Indonesia.
Dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) bertema “ Mewujudkan Ekosistem Pelestarian Perahu Bidar”, Kamis, 29 Agustus 2024, ada yang menyebutkan perahu atau bidar sudah ada sejak masa Sriwijaya. Kedatuan Sriwijaya yang ada sejak abad VII dikenal sebagai kerajaan maritim memiliki beragam jenis kapal sampai perahu, termasuk perahu bidar.
Kemudian sumber lain menyebutkan perahu bidar berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam yakni abad XVII-XIX. Bidar disebut berasal dari perahu pancalang, yaitu perahu cepat yang dikemudian beberapa pendayung dengan ukuran 3,5-7,5 meter dan lebar 1,2-1,8 meter. Sementara pada lomba bidar saat ini, panjang perahu bisa mencapai 30 meter dan lebar 1,37 meter yang digerakkan oleh pendayung berjumlah 55 – 57 orang.
Versi yang lain menyebutkan, istilah bidar diperkenalkan Komisaris Regulasi Hindia Belanda di Palembang bernama JI Sevenhoven tahun tahun 1821. Istilah ini mengganti penyebutkan nama “pancalang” yang digunakan penguasa Palembang masa itu.
Di Sumsel lomba bidar selain ada di Palembang, juga ada di daerah lainnya seprti di Kabupate Musi Banyuasin (Muba) yang berlangsung di sungai Batanghari Leko. Lomba bidar juga di Kabupaten Ogan Ilir (OI) tepatnya di Desa Burai sebuah desa wisata yang tidak jauh dari Palembang yang menyelenggarakannya sebagai salah satu atraksi wisata.
Di Palembang juga dikenal adanya kampung pendayung bidar, yakni beberapa kampung yang berada di tepian sungai Musi dan sungai lainnya. Kampung ini melahirkan para pendayung perahu bidar yang andal. Seperti Kampung Keramasan di tepi sungai Keramasan, anak sungai Musi. Kampung Kertapati yang berada di tepi sungai Ogan, anak sungai Musi. Kemudian 1 Ulu, Kampung Tangga Buntung yang banyak melahirkan pendayung bidar.
Pacu Jalur
Serupa tapi tak sama dengan lomba bidar, di Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau ada lomba pacu jalur, yang sama-sama mengunakan perahu berukuran panjang dengan pendayung lebih dari 10 orang pendayung setiap timnya. Mereka berpacu, mendayung adu cepat sampai di garis finish.
Bagi masyarakat Kuantan Singingi, pacu jalur merupakan salah satu budaya turun temurun yang masih ada sampai sekarang. Lomba pacu jalur biasanya diadakan pada bulan Agustus setiap tahunnya sebagai bagian merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut Hendri Marhadi dan Erlisnawati dalam “Nilai Karakter Dalam Budaya Pacu Jalur Pada Masyarakat Teluk Kuantan Provinsi Riau” (2017), pacu jalur di Teluk Kuantan adalah suatu tradisi budaya yang telah berlangsung dari zaman penjajahan hingga sekarang. Pacu jalur tidak hanya masuk dalam agenda wisata budaya Provinsi Riau tapi sudah masuk dalam agenda wisata budaya Nasional.
Pada awalnya pacu jalur dilombakan masyarakat Teluk Kuantan di desa-desa sepanjang batang (sungai) Kuantan yang bertujuan untuk merayakan hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, 1 Muharam dan sebagainya. Dalam perkembangannya, pacu jalur diadakan setiap tahun dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia pada bulan Agustus.
Mengutip UU Hamidy dalam ”Kesenian Jalur di Rantau Kuantan” (1986), kata pacu jalur terdiri dari dua kata yakni “Pacu” dan “Jalur”. Pacu dalam bahasa Indonesia adalah lomba. Jalur adalah sampan yang terbuat dari kayu di hutan tertentu dengan syarat tertentu pula.
Panjang jalur berkisar 20 sampai 30 meter, lebar 1 sampai 1,5 meter, muatan jalur 40 sampai 60 orang yang disebut dengan anak pacu atau pangayuah (pendayung). Pangayuah berfungsi untuk mendayung jalur, terdiri dari pangayuah anak tari, pangayuah tukang concang, pangayuah tukang kayuah, dan pangayuah tukang kemudi.
Pacu jalur adalah pertandingan, perlombaan untuk mencapai kemenangan. Pengertian “pacu” adalah suatu upaya beberapa buah jalur yang dikayuh atau didayung dan dilepas secara serentak pada waktu yang bersamaan dan yang menjadi pemenang adalah jalur yang lebih dahulu sampai ke pancang akhir/garis finish atau istilah daerah disebut pancang ulak.
Setiap tahun Festival Pacu Jaur berlangsung selalu diikuti jumlah peserta yang banyak, bahkan sampai lebih dari 100 tim atau jalur dengan jumlah ribuan pendayung. Lomba dimulai dengan babak penyisihan untuk mendapatkan yang tercepat yang akan berlomba pada babak berikutnya. Peserta lomba bukan hanya dari kabupaten setempat melainkan juga ada dari daerah lainnya. Hadiahnya cukup menggiurkan sampai puluhan juta rupiah.
Tapi ada juga yang menyebutkan pacu jalur sebagai tradisi dari masa Hindia Belanda yang diadakan untuk memperingati hari kelahiran Ratu Belanda Wihelmina yang jatuh pada tanggal 31 Agustus. Sama seperti dengan asal usul lomba bidar di Palembang.
Bagi masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi dan Riau, pacu jalur adalah tradisi masyarakat dan menjadikan ikon dari kabupaten tersebut yang sudah go internasional. Pacu jalur juga merupakan tradisi dan adat istiadat yang mengakar kuat pada masyarakat Rantau Kuantan Singingi.
Menurut Tidi Maharani dan Citra Raflesia dalam “Tradisi Pacu Jalur Sebagai Penguat Nilai-Nilai Karakter” (2023), tradisi pacu jalur mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi, dan banyak proses yang terjadi dalam tradisi ini. Mulai dari pembuatan jalur hingga kompetisi berlangsung, dan ini membutuhkan banyak waktu dan biaya yang besar.
Pada pacu jalur tahun ini yang termasuk dalam 10 besar KEN 2024 berlangsung 21 0 25 Agustus 2024 diikuti sebanyak 225 peserta jalur atau tim. Untuk ikut mensukseskan even “Pacu Jalur 2024” Pemerintah Provinsi Riau memberikan bantuan senilai Rp575 juta, yang dipergunakan untuk bantuan hadiah bagi sang juara.
Untuk Juara Pertana sebesar Rp70.000.000, Juara 2 Rp60.000.000, Juara 3 Rp50.000.000, Juara 4 Rp40.000.000. Lalu, Juara 5 Rp30.000.000, Juara 6 Rp20.000.000, dan untuk Juara 7 hingga Juara 15, Rp10.000.000. Selanjutnya, ada pula uang kontribusi jalur sebesar Rp1.000.000, untuk perjalur, dengan total sebanyak Rp215.000.000.
Selain itu Festival Pacu Jalur berdasarkan data Dinas Budaya dan Pariwisata Kuantan Singingi, pada Festival Pacu Jalur 2023 ada sebanyak 1.719.952 orang berkunjung ke Taluk Kuantan untuk menyaksikan even dengan perputaran uang mencapai Rp90 miliar lebih yang memberi dampak positif bagi perekonomian masyarakat setempat, diantaranya para pelaku UMKM, perhotelan, dan lain sebagainya.
Indonesia, punya lomba bidar dan pacu, kenapa harus ke jauh-jauh ke Thailand menyaksikan lomba perahu naga juga diadakan setiap tahun sebagai atraksi wisata yang mampu menggaet wisatwan mancanegara. Kalau mau, kita juga bisa. Jangan sampai orang Indonesia jadi wisatawan datang ke Thailand untuk menyaksikan lomba perahu nasga. Ayo datang ke Palembang ada lomba bidar dan ke Kuantan Singingi ada pacu jalur. (maspril aries & d oskandar)