Oleh: Jaya Suprana, Budayawan dan Aktivis Kemanusiaan.
ALKISAH pada tahun 1919, setahun setelah Perang Dunia I usai, guru besar matematika Universitas Oxford, Inggris, GH Hardy. Kala itu dia menjenguk Srinavasa Ramanujam yang sedang terbaring di rumah sakit. Ramujan di di rawat akibat terserang virus kakek-moyang Corona yang kemudian berkembang menjadi pagebluk Flu-Spanyolmemorak-porandakan kesehatan umat manusia di planet bumi seabad sebelum pagebluk Corona.
Setiba di rumah sakit, Prof Hardy langsung minta maaf terlambat menjenguk Ramanujam akibat diajak berputar-putar London oleh sopir taksi dungu tak kenal jalanan London dengan taksi bernomor 1729, yang menurut Prof Hardy adalah sebuah angka sama sekali tidak bermakna. Maka,baginya nomir itu tidak berharga untuk diingat apalagi ditelaah.
Permintaan maaf Prof Hardy ditolak oleh Ramanujam dengan penjelasan bahwa angka 1.729 adalah “the smallest number that is the sum of the positive cubes in two different ways”. Dalam bahasa matematikal pernyataan sang mahamatematikawan genius otodidak asal India penyandang savant matematikal dapat dibuktikan kebenarannya, Ini karena angka itu bila dihitung dengan 10 pangkat 3 ditambah 9 pangkat 3 sama dengan 1.729.
Sementara 1 pangkat 3 ditambah 12 pangkat 3 ternyata juga sama dengan 1.729.
Bagi kaum awam matematika terutama saya, sebenarnya tidak ada yang istimewa pada angka 1729. Namun sabda matematikal Srinavasa Ramanujam tentang 1729 ternyata sangat menggetar sukma Prof Hardy.
Penjelasan pemuda asal Madras yang diundang ke Inggris oleh Prof Hardy untuk bergabung ke Royal Society dan Trinity College bahwa sebenarnya 1729 memiliki makna matematikal tersendiri yang istimewa. Bahkan perihal ini kemudian secara antusias berulang kali dikisahkan kembali oleh Prof Hardy kepada para sejawat mahamatematikawan di seluruh dunia.
Alhasil kini angka 1729 menjadi sebuah angka yang paling kerap dipergunjingkan di kalangan para mahamatematikawan yang mampu dan mau memahami makna matematikal angka 1729.
Anekdot sabda Srinavasa Ramanujam tentang keistimewaan angka 1729 juga menyadarkan kita semua yang mau dan mampu disadarkan bahwa pada hakikatnya setiap angka memiliki makna tergantung yang mau memaknainya.
Bahkan juga sekaligus dapat disadari bahwa setiap benda maupun tak-benda di alam semesta ini pada hakikatnya memiliki getaran sukma makna masing-masing, yang memang hanya bisa disadari oleh manusia yang mau dan mampu menelaah maknanya.
Hakikat sabda Srinavas Ramanujam tentang 1729, selaras warisan sabda George Berkeley “esse est percipi aut percipere“ yang mohon maaf tidak mampu saya terjemahkan secara sempurna tepat dan benar ke dalam bahasa Indonesia.