Selasa 01 Oct 2024 07:30 WIB

Pansus Haji Terbitkan Lima Rekomendasi, Kemenag: Intinya untuk Perbaikan

Pansus haji tidak akan efektif karena masa tugas DPR sangat singkat.

Rep: Muhyiddin/ Red: Erdy Nasrul
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji Nusron Wahid (kiri) dan Wakil Ketua Pansus Marwan Dasopang (kanan).
Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji Nusron Wahid (kiri) dan Wakil Ketua Pansus Marwan Dasopang (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pansus Angket Haji membacakan hasil kerjanya di hadapan sidang Paripurna DPR ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 di Senayan, Jakarta pada Senin (30/9/2024). Ada lima rekomendasi yang dibacakan Nusron Wahid selaku Ketua Pansus.

Juru Bicara Kementerian Agama (Kemenag), Sunanto mengatakan, pihaknya menghormati dan mengapresiasi rekomendasi tim Pansus Haji tersebut. Dia pun menanggapi satu per satu lima poin rekomendasi yang diterbitkan Pansus Haji tersebut.

Baca Juga

“Saya melihat rekomendasi Pansus intinya adalah revisi regulasi untuk perbaikan. Ini tentu kita hormati dan apresiasi,” ujar pria yang biasa dipanggil Cak Nanto ini dalam keterangannya di Jakarta, Senin (30/9/2024).

Rekomendasi pertama yang disampaikan Pansus Haji adalah dibutuhkan revisi terhadap UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dan UU No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dengan mempertimbangkan kondisi kekinian yang terjadi dalam regulasi dan model pelaksanaan ibadah haji yang ada di Arab Saudi.

Menurut dia, sejak awal Kemenag juga sudah meminta agar UU tersebut direvisi. “Sedari awal Kementerian Agama sudah meminta agar ada revisi regulasi, utamanya Undang-undang No 8 Tahun 2019. Sebab, sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan ibadah haji reguler, Kemenag merasakan betul kebutuhan akan revisi regulasi, terlebih melihat dinamika kebijakan penyelenggaraan haji di Arab Saudi,” jelas Cak Nanto.

Dia mencontohkan, Arab Saudi sejak 2023 mengumumkan kuota haji lebih awal dari biasanya. Pada saat yang sama, Kementerian Arab Saudi menerbitkan jadwal tahapan persiapan penyelenggaraan ibadah haji dengan kalender hijriah. Sementara proses pengelolaan program dan anggaran pemerintah Indonesia menggunakan kalender masehi.

“Dalam hal tertentu, ada momen yang menuntut penyelenggara mengambil kebijakan lebih cepat dan melakukan persiapan lebih awal. Hal seperti ini belum terakomodir dalam regulasi,” kata Cak Nanto.

Contoh lainnya terkait pembiayaan bagi jamaah penggabungan mahram atau pendamping. Regulasi saat ini tidak membedakan biaya yang harus dibayar jemaah yang ikut penggabungan mahram meski masa tunggu mereka lebih singkat dari jamaah yang masuk kuota. Masa antrean jamaah yang berangkat dengan penggabungan mahram dan pendamping, secara regulasi paling lama lima tahun. Namun pembiayaannya disamakan dengan jamaah yang sudah menunggu dalam waktu yang lebih lama, bisa 12 sampai 13 tahun.

“Hal semacam ini perlu direspons dalam perbaikan regulasi. Saat ini kemenag terus melakukan harmonisasi regulasi,” ucap Cak Nanto.

Rekomendasi kedua yang diusulkan Pansus Haji adalah diperlukan sistem yang lebih terbuka dan akuntabel dalam penetapan kuota haji, terutama dalam ibadah haji khusus, termasuk pengalokasian kuota tambahan. Setiap keputusan yang diambil harus didasarkan pada peraturan yang jelas dan diinformasikan secara terbuka kepada publik.

Menanggapi hal itu, Cak Nanto menyampaikan bahwa sistem penetapan kuota selama ini bersifat terbuka dan mengacu pada Undang-Undang No 8 tahun 2019, khususnya Pasal 8 dan Pasal 9. Penetapan kuota haji memang wewenang atribusi yang diberikan undang-undang kepada Menteri Agama.

"Pasal 64 juga jelas bahwa alokasi kuota haji khusus sebesar 8 persen itu dari Kuota Haji Indonesia yang itu adalah kuota pokok, bukan kuota tambahan,” ujar Cak Nanto.

Dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji, Indonesia setidaknya tiga kali menerima kuota tambahan. Praktik pembagiannya tidak pernah sama. Pada 2019, Indonesia mendapat 10 ribu kuota tambahan dan itu seluruhnya diberikan untuk jemaah haji reguler. Pada 2023, Indonesia mendapat 8.000 kuota tambahan. Sebanyak 92 persen untuk jamaah haji reguler dan 8 persen untuk jemaah haji khusus. Sementara pada 2024, Indonesia mendapat 20 ribu kuota tambahan, dibagi rata untuk haji reguler dan haji khusus.

“Pada tahun 2022, Indonesia mendapat kuota 100.051, dibagi 92.825 untuk haji reguler dan 7.226 untuk haji khusus. Prosentase kuota haji khusus hanya 7,2 persen tidak sampai 8 persen. Kemenag waktu itu akan digugat PIHK. Tapi memang keputusan dari Arab Saudinya pembagiannya sudah seperti itu,” kata Cak Nanto.

Menurut dia, pihaknya tentu melakukan berbagai kajian untuk menjadi bahan pertimbangan dalam alokasi kuota tambahan. Menurut dia, Kemenag juga saat ini memperbaiki prosedur dan mekanisme pengisian kuota serta memperkuat transparansi dalam menyampaikan informasi ke publik yang lebih luas.

"Misalnya, kuota dasar dan kuota tambahan diumumkan secara terbuka kepada publik melalui kanal-kanal berita resmi Kemenag,” jelas Cak Nanto.

Lalu rekomendasi ketiga yang diusulkan Pansus Haji adalah dalam pelaksanaan ibadah haji khusus, Pansus merekomendasikan, hendaknya dalam pelaksanaan mendatang, peran negara dalam fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan ibadah haji khusus, harus lebih diperkuat dan dioptimalkan.

Menurut Cak Nanto, rekomendasi ketiga ini sejalan dengan semangat Kemenag untuk melakukan penguatan pengawasan. "Kita sudah melakukan beberapa hal, terutama untuk penyelenggaraan umrah. Kita sudah bentuk satgas pengawasan umrah. Ke depan ini bisa diperluas termasuk pada satgas pengawasan haji khusus,” kata Cak Nanto.

Rekomendasi keempat, Pansus angket Haji mendorong penguatan peran lembaga pengawasan internal pemerintah (seperti Inspektorat Jenderal Kementerian Agama dan BPKP) agar lebih detail dan kuat dalam mengawasi penyelenggaraan haji. Manakala kerja Pansus membutuhkan tindaklanjut, dapat melibatkan pengawas eksternal, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK).

Namun, menurut Cak Nanto, dalam proses penyelenggaraan ibadah hajiKemenag sudah melibatkan berbagai pihak, untuk pengawasan, mulai dari Itjen, BPK, DPR, dan DPD RI, serta kementerian dan lembaga lain sebagai pengawas internal dan eksternal. Dalam hal tertentu, misalnya, dalam layanan akomodasi/hotel di Arab Saudi, klausul kontrak membuka peluang keterlibatan aparat penegak hukum Indonesia dalam penanganan tindak pidana korupsi.

"Kemenag sedari awal juga telah memperkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum untuk pencegahan dan mitigasi segala bentuk penyelewengan penyelenggaraan ibadah haji," ujar Cak Nanto.

Sedangkan rekomendasi kelima, Pansus Haj8 mengharapkan pemerintah mendatang agar dalam mengisi posisi Menteri Agama RI dengan figur yang dianggap lebih cakap dan kompeten dalam mengkoordinir, mengatur, dan mengelola ibadah haji.

“Soal menteri, ini hak prerogatif Presiden. Termasuk penilaian kecakapan dan kompetensinya. Faktanya baik secara kuantitatif dan kualitatif, Kementerian Agama dalam tiga tahun terakhir berhasil mencapai prestasi sangat memuaskan dalam pelayanan ibadah haji," jelas Cak Nanto.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement