Senin 21 Oct 2024 20:07 WIB

Hari Santri dan Resolusi Jihad

Hari Santri sama dengan tanggal keluarnya resolusi jihad.

Ilustrasi Santri Mandiri
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Santri Mandiri

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA --  Tanggal 10 November 1945 menjadi hari bersejarah bagi rakyat Indonesia dan diperingati sebagai hari Pahlawan. Karena pada 10 November terjadi sebuah pertempuran besar pasca kemerdekaan Indonesia yang meletus di Surabaya.

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tetapi kondisi Indonesia masih belum stabil. Bahkan penjajah Belanda difasilitasi oleh pemerintah Inggris, berniat untuk kembali menjajah tanah pertiwi.

Baca Juga

Lalu muncul sosok KH Hasyim Asy'ari yang menjadi salah satu tokoh nasional dalam mengusir penjajah.

Dikutip dari buku “K.H. Hasyim Asy'ari dan Resolusi Jihad dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 1945” karya Mohammad Rijal Fadli dan Bobi Hidayat mengatakan, KH Hasyim Asy'ari dikenal sebagai ulama kharismatik dan guru pejuang, terutama dalam berperan memajukan masyarakatnya dan membangkitkan semangat perjuangan menghadapi penjajahan kolonial Belanda dan Jepang.

KH Hasyim Asy'ari menjadi tokoh yang mencetuskan resolusi Jihad, ketika tentara Belanda yang dibawa oleh Inggris kembali tiba ke tanah air. Kedatangan Tentara belanda ini, seolah mengejek Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya.

Tentara Inggris pertama sudah mendarat di Jakarta pada akhir September 1945, yang menduduki ibukota atas nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pada pertengahan Oktober 1945, pasukan Jepang merebut kembali beberapa kota Jawa yang telah jatuh ke tangan Indonesia dan kemudian menyerahkannya kepada Inggris. Demikian juga di Surabaya, kedatangan pasukan Inggris ditunggu dengan gelisah, mereka masuk pada 25 Oktober 1945. Pemerintah Republik yang telah memproklamasikan kemerdekaan di Jakarta pada 17 Agustus 1945 masih menahan diri dari melakukan perlawanan.

Pendaratan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di Indonesia memicu kemarahan rakyat Indonesia yang tidak rela untuk dijajah kembali oleh Belanda. Umat Islam tampil terdepan dalam perjuangan menentang pendudukan kembali Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah berperan dalam mobilisasi kekuatan rakyat, sehingga terbentuk wadah perjuangan rakyat.

Para tokoh-tokoh NU mengadakan rapat di Surabaya pada 22 Oktober 1945 dan mengeluarkan "Resolusi Jihad" yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah perang suci (jihad). Berjuang menentang kembalinya Tentara Sekutu termasuk Belanda, dinyatakan sebagai kewajiban setiap muslim.

K.H. Hasyim Asy'ari kemudian mengeluarkan sebuah fatwa "Resolusi Jihad" pada 22 Oktober 1945, yang isinya mewajibkan kepada seluruh umat Islam baik pria maupun wanita mengangkat senjata melawan kolonialisme dari imperialisme yang mengancam keselamatan negara Republik Indonesia.

Resolusi jihad dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945, sebelum terjadinya perang 10 November 1945 di Surabaya. Munculnya resolusi jihad tersebut dorongan dari wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk menolak pendudukan kembali Belanda yang tergabung dalam Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Kondisi penduduk Surabaya semakin menuju kepada kesatuan semangat juang pada akhir bulan September dan Oktober 1945. Para pejuang di Surabaya memiliki kesamaan pandang bahwa kemerdekaan yang baru saja diperoleh mendapat ancaman oleh Belanda yang membonceng Sekutu (Inggris). Kesamaan tekad ini yang membuat mereka terkondisikan dalam satu sikap bulat yakni akan menempuh cara apapun untuk mempertahankan kemerdekaan, walaupun secara militer kalah dari kekuatan Inggris dan Sekutu.

Resolusi jihad merupakan respon terhadap sikap pasif pemerintah dalam masa-masa transisi pendudukan Jepang kepada sekutu (Inggris). Pemerintahan Indonesia belum sepenuhnya berjalan efektif pasca proklamasi kemerdekaan, dan belum dapat mengkonsolidasikan kekuatan militer sebagaimana layaknya bangsa yang berdaulat. Namun demikian, umat Islam khususnya tokoh tokoh NU meyakini dari sudut pandang agama bahwa pemerintahan yang terbentuk hasil proklamasi 17 Agustus 194 adalah pemerintahan yang sah, dan wajib dipertahankan walaupun harus melalui konfrontasi bersenjata.

Jaringan pesantren dan tokoh tokoh NU terutama yang berada di pedesaan, secara masif berkontribusi dalam sosialisasi fatwa jihad. Kesadaran umat Islam yang sudah terbentuk menjadi lebih kuat, sehingga memobilisasi kekuatan rakyat menjadi lebih mudah. Terbentuknya laskar jihad seperti Sabilillah dan Hizbullah membuktikan peran resolusi jihad dalam membangkitkan semangat perjuangan umat Islam.

Adapun bunyi resolusi jihad yang difatwakan oleh K.H. Hasyim Asyari sebagai berikut:

1. Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 harus dipertahankan.

2. Pemerintah RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dipertahankan dengan harta maupun jiwa.

3. Musuh-musuh Indonesia, khususnya orang-orang Belanda yang kembali ke Indonesia dengan menampung pasukan sekutu (Inggris), sangat mungkin ingin menjajah kembali Bangsa Indonesia setelah Jepang ditahlukkan.

4. Umat Islam, khususnya warga NU, harus siap bertempur melawan Belanda dan sekutu mereka yang berusaha untuk menguasai Indonesia kembali.

5. Kewajiban jihad merupakan keharusan bagi setiap Muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer (sama jaraknya dengan qashar, di mana meringkas shalat boleh ditunaikan oleh Muslim santri).

6. Mereka yang berada di luar radius itu mempunyai tanggung jawab mendukung saudara-saudara Muslim mereka yang tengah berjuang dalam radius tersebut.

Keluarnya Resolusi Jihad tidak terlepas dari pandangan K.H. Hasyim Asy'ari mengenai Islam dan kenegaraan. Dalam pandangan KH. Hasyim Asy ari, mempertahankan eksistensi NKRI dari segala hal yang mengancamnya wajib dilakukan oleh umat Islam, bukan semata-mata atas nama nasionalisme, namun untuk keberlangsungan kehidupan umat Islam yang berdiam di negara tersebut.

Resolusi jihad memiliki dampak signifikan terhadap konsolidasi kekuatan bersenjata non reguler, di bawah naungan laskar jihad seperti Sabilillah dan Hizbullah. Dalam kondisi militer suatu negara yang belum terbentuk secara solid, maka unsur-unsur kekuatan non reguler yang berintikan barisan pejuang Islam, setidaknya dapat mengisi kekosongan peran militer, terlebih lagi dalam situasi upaya pendudukan kembali oleh Belanda.

Seruan jihad yang dikumandangkan oleh K.H. Hasyim Asyari diikuti ribuan kiai dan santri untuk melawan penjajah Belanda. Seruan yang terkenal dengan Resolusi Jihad ini berisi tiga hal penting: pertama, setiap muslim, tua, muda, dan miskin sekalipun, wajib memerangi orang kafir yang menentang kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Seruan ini terbukti ampuh untuk menggerakkan semangat perjuangan bangsa Indonesia, khususnya Jawa Timur dan Madura.

Sejarah membuktikan bahwa resolusi jihad benar-benar menjadi faktor penentu berlanjut atau tidaknya kemerdekaan Indonesia. Artinya, dampak nyata dan resolusi jihad adalah kemerdekaan Indonesia itu sendiri, yang sampai sekarang dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Sementara dampak bagi internal NU adalah banyaknya santri-santri yang kemudian direkrut menjadi tentara nasional. Selain itu juga, banyak kiai yang mendapatkan gelar pahlawan nasional dan pemerintah.

Kondisi Surabaya yang heroik menyatu dengan semangat' jihad yang kuat, dan kerelaan berkorban demi bangsa, negara dan agama. Ulama dan seluruh lapisan rakyat bahu membahu mempertahankan kota Surabaya yang dibuktikan dengan terjadinya perang 10 November 1945. 

Surabaya menjadi saksi perjuangan umat Islam dan seluruh lapisan masyarakat yang tidak rela dijajah kembali. Dampak dari Resolusi Jihad luar biasa. 

Pergolakan awal di Surabaya berlangsung dengan begitu heroik dan sengit sehingga membuat pasukan Inggris kewalahan. Selain itu kekuatan para pejuang yang sudah sangat solid dan padu kemudian mendapatkan tambahan dengan hadirnya badan-badan perjuangan baik dari kalangan Islam dari luar kota Surabaya yang datang ke kota ini untuk bersama-sama menghadapi Inggris.

Pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar ulama santri dan berbagai daerah berada di garda depan pertempuran. Resolusi jihad juga membahana di Semarang dan sekitarnya, bahkan telah mengiringi keberhasilan dalam Perang Sabil Palagan Ambarawa. Para laskar ulama santri juga terus melakukan pertempuran mempertahankan daerahnya masing-masing termasuk di tanah Pasundan dan di luar Jawa (Bizawie: 2016, 28).

Saat ini, tanggal dikeluarkannya resolusi jihad 22 Oktober juga dikenal sebagai hari santri. Para santri akan memperingatinya dengan penuh suka cita.

 

 

sumber : Dok Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement