Kamis 21 Nov 2024 22:53 WIB

Kenaikan Tarif PPN Amanat Undang-Undang, DPR Ungkap Pemerintah Bisa Kaji Ulang

Kondisi ekonomi masyarakat dinilai kurang stabil.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi masyarakat berbelanja pakaian.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi masyarakat berbelanja pakaian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kebijakan pemerintah yang bakal menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada Januari 2025 mendapatkan banyak kritikan dari berbagai pihak, termasuk anggota parlemen. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang dinilai kurang stabil.  

Meski kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peratura Perpajakan (UU HPP), Evita mengatakan, pengkajian ulang masih memungkinkan. Sebab pada Pasal 7 ayat 3 UU HPP disebutkan bahwa PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. 

Baca Juga

“Jadi pemerintah masih bisa punya kewenangan untuk mengubahnya, misalkan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan dengan DPR. Pemerintah harus bijaksana melihat kondisi ekonomi yang masih sulit bagi masyarakat,” kata Evita dalam keterangannya, dikutip Kamis (21/11/2024). 

Evita menekankan agar pemerintah mempertimbangkan kembali mengenai kondisi ekonomi terkini. Lebih spesifik, ia memperhatikan dampak yang akan ditanggung oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional. 

“Kami memahami maksud pemerintah untuk peningkatan pendapatan, tapi sekarang gejolak ekonomi sudah banyak berdampak signifikan ke rakyat. Pikirkan juga nasib jutaan UMKM yang akan terdampak, termasuk pekerja yang hidup dari sana,” ujar Politisi Fraksi PDI Perjuangan tersebut.

Evita mengingatkan, ketika PPN meningkat, harga barang dan jasa juga akan naik, sehingga memengaruhi tertekannya daya beli masyarakat, khususnya bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah. Sedangkan sektor UMKM sangat bergantung pada stabilitas daya beli masyarakat. Jika daya beli masyarakat menurun, sudah barang tentu produk UMKM cenderung turun seiring dengan naiknya harga jual.

“UMKM berisiko mengalami penurunan penjualan yang signifikan, mengakibatkan ketidakmampuan untuk mempertahankan arus kas dan keseimbangan keuangan usaha mereka. Jika ini dipaksakan pada waktu yang tidak tepat maka masyarakat akan makin sulit terimbas dampak ikutannya, dan pertumbuhan ekonomi tahun depan akan lebih rendah dari target semula,” jelasnya. 

Pemerintah dinilai harus mencari alternatif untuk menjalankan upaya meningkatkan pendapatan negara, tidak dengan menaikkan PPN. Menurut hematnya, salah satu alternatifnya adalah berfokus pada pembenahan sistem administrasi pajak dan efisiensi belanja negara. 

“Pemerintah perlu mempertimbangkan alternatif yang lebih inklusif dan berorientasi pada keberlanjutan sektor UMKM. Daripada menaikkan PPN, Pemerintah dapat mengoptimalkan sumber pendapatan lain melalui perbaikan sistem perpajakan yang lebih efektif,” terangnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement