Senin 25 Nov 2024 08:23 WIB

Kriteria Memilih Suami yang Menjadi Sebab Lahirnya Anak Shaleh

Suami shaleh menjadi salah satu sebab keshalehan anak.

Kriteria Suami yang Menjadi Sebab Lahirnya Anak Shaleh. Foto: Ibadah (Ilustrasi)
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Kriteria Suami yang Menjadi Sebab Lahirnya Anak Shaleh. Foto: Ibadah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagaimana memilih istri shalilah bagi suami untuk mendapatkan anak shaleh, begitu pula istri sangat dianjurkan untuk memilih suami yang shaleh. Karena, menjadi salah satu sebab keshalehan anak.

Syekh Nada Abu Ahmad dalam Berkah Anak Shalih mengatakan, ada ungkapan 'suami dan istri ibarat bait syair. Sebait syair tidak menjadi indah bila sepenggal pertama kuat, sedangkan sepenggal yang lain lemah'.

Baca Juga

Maka, seorang istri dianjurkan memilih untuk anak-anaknya seorang ayah yang shaleh yang memiliki akhlak dan agama.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا جاءَكم مَن ترضَونَ دينَه وخُلقَه فأنكِحوهُ ، إلَّا تفعلوا تَكن فتنةٌ في الأرضِ وفسادٌ

“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi” (HR. Tirmidzi).

DR Abdullah Nashih Ulwan berkata di dalam buku Tarbiyah Al Aulad, "Fitnah seperti apa yang lebih besar dari pada jatuhnya seorang pendosa yang memaksanya untuk membuka aurat dan bercampur dengan laki-laki bukan mahram yang menyeretnya untuk mau menyesap arak dan berdansa bersama kaum laki-laki?"

Menurut Syekh Nada, banyak gadis dan sungguh sangat disayangkan yang sebelumnya di tengah keluarganya menjadi simbol kehormatan dan kesucian, namun setelah berpindah ke rumah permisif dan suami pendosa yang menghalalkan segala hal, ia berubah menjadi perempuan tidak punya malu dan tak bermoral, sama sekali tidak mengindahkan nilai keutamaan dan tidak menganggap makna kesucian dan kehormatan.

Anak-anak yang tumbuh di dalam rumah permisif dan penuh dosa seperti ini sudah barang tentu akan tumbuh dalam penyimpangan dan sikap permisif. Mereka terdidik dalam kerusakan dan kemunkaran.

Jadi, lanjut Syekh Nada, memilih berdasarkan agama dan akhlak termasuk sebab terpenting untuk mewujudkan kebahagiaan sempuran dan terjamin bagi suami istri, anak-anak akan mendapat pendidikan Islami penuh keutamaan, dan keluarga akan meraih kehormatan yang kokoh dan ketenteraman yang diidamkan.

Maka, hendaknya seorang perempuan memilih ayah yang shaleh untuk anak-anaknya. Sebab, keshalehan ayah membawa serta keshalehan anak.

Allah berfirman dalam Alquran ayat 82:

وَاَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلٰمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهٗ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًاۚ فَاَرَادَ رَبُّكَ اَنْ يَّبْلُغَآ اَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَۚ وَمَا فَعَلْتُهٗ عَنْ اَمْرِيْۗ ذٰلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَّلَيْهِ صَبْرًاۗࣖ

wa ammal-jidâru fa kâna lighulâmaini yatîmaini fil-madînati wa kâna taḫtahû kanzul lahumâ wa kâna abûhumâ shâliḫâ, fa arâda rabbuka ay yablughâ asyuddahumâ wa yastakhrijâ kanzahumâ raḫmatam mir rabbik, wa mâ fa‘altuhû ‘an amrî, dzâlika ta'wîlu mâ lam tasthi‘ ‘alaihi shabrâ

Adapun dinding (rumah) itu adalah milik dua anak yatim di kota itu dan di bawahnya tersimpan harta milik mereka berdua, sedangkan ayah mereka adalah orang saleh. Maka, Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai usia dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Aku tidak melakukannya berdasarkan kemauanku (sendiri). Itulah makna sesuatu yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya.”

Menurut Syekh Nada, pada ayat di atas bisa dilihat pada umumnya keshalehan ayah berimbas pada keshalihan anak-anak.

"Saya katakan 'pada umumnya', karena sudah maklum bahwa tanah yang baik hanya menumbuhkan tanaman yang baik pula," tulis Syekh Nada.

Firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 34:

ذُرِّيَّةً ۢ بَعْضُهَا مِنْۢ بَعْضٍۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌۚ

dzurriyyatam ba‘dluhâ mim ba‘dl, wallâhu samî‘un ‘alîm

(Mereka adalah) satu keturunan, sebagiannya adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Namun, terkadang kita melihat pengecualian dari kaidah ini, sebagaimana terjadi pada Nabi Nuh AS dan putranya yang meninggal dalam keadaan kafir. Hal itu terjadi karena suatu hikmah yang hanya diketahui oleh Allah SWT agar manusia tidak bersandar pada dirinya sendiri dan mengira bahwa dengan keshalehannya semata, ia akan mendapat karunia berupa anak shaleh, tanpa harus mengupayakan sebab-sebab keshalehan anak. Di antaranya, memilih istri. mencari rezeki halal, berdoa, menyebut nama Allah ketika akan berhubungan intim suami-istri, dan berbagai faktor lainnya.

Menurut Syekh Nada, hendaknya seorang laki-laki bersungguh-sungguh dalam mengupayakan keturunan yang shaleh. Hendaknya ia mewujudkan faktor-faktor penyebab keshalehan anak.

Dia juga harus bersungguh-sungguh dalam menjaga keshalehannya dengan harapan Allah menjaga anak-anaknya. Said bin Musayyab pernah berkata kepada anaknya, "Sungguh aku akan menambah sholatku demi kamu, dengan harapan semoga Allah menjagamu."

Kemudian dia membaca ayat berikut : (Surat Al Kahfi ayat 82)

وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحًا

wa kāna abụhumā ṣāliḥā

sedang ayahnya adalah seorang yang shaleh

Lain lagi dengan Sahl at-Tastari, begitu besar perhatiannya kepada anaknya selagi masih berada di tulang sulbinya, ia melakukan amal shaleh dengan harapan Allah memuliakan dirinya dengan mengaruniakan anak shaleh. Dia berkata, "Sungguh aku mengikat perjanjian yang dibuat Allah (dengan manusia) selagi berada di alam partikel. Sungguh aku akan memelihara anak-anakku sejak sekarang, hingga Allah mengeluarkannya ke alam nyata."

"Jadi keshalehan ayah itu bergunan bagi anak-anak," tulis Syekh Nada.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement