REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Setelah berperang lebih dari setahun, pertempuran di perbatasan utara Palestina yang diduduki berakhir di tengah perjanjian gencatan senjata yang dimediasi antara Lebanon dengan penjajah Israel. Surat kabar terkemuka Israel, Haaretz menggarisbawahi perjanjian tersebut mencerminkan kerangka kerja Dewan Keamanan PBB 1701 yang dicapai pada akhir perang Juli 2006.
Perjanjian tersebut menetapkan, militer Israel secara bertahap menarik diri dari Lebanon Selatan. Sementara itu, Hizbullah mengosongkan wilayah selatan Sungai Litani dan Angkatan Darat Lebanon mengambil alih kendali wilayah tersebut.
Tokoh oposisi Israel menjadi sangat marah atas perjanjian tersebut. Benny Gantz, pemimpin Partai Persatuan Nasional, mengatakan, "Penarikan pasukan sekarang, bersama dengan dinamika yang akan ditimbulkannya, akan mempersulit kita dan memudahkan Hizbullah untuk melakukan reorganisasi. Kita tidak boleh puas dengan tindakan setengah-setengah atau kehilangan kesempatan untuk perjanjian yang lebih kuat yang secara mendasar mengubah situasi di utara."
Sementara itu, tokoh Israel lain menyambutnya sebagai langkah untuk memungkinkan pemukim Israel yang telantar untuk kembali. Mereka dinilai bisa kembali menduduki Palestina bagian utara. Namun, para kritikus berpendapat bahwa kepemimpinan Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, secara historis gagal menegakkan Resolusi 1701 dan mencegah penumpukan militer.