Pendeta Basoeki Probowinoto lahir di Dusun Tempurung, Desa Tlogomulyo, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan. Tempurung menjadi salah satu dari lima lokasi yang menjadi pusat kegiatan Kristenisasi oleh Zending Salatiga pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Selain Tempurung, ada Kaliceret, Wolo, Purwodadi, dan Kradenan. Mengapa Grobogan meniadi sasaran Kristenisasi Zending Salatiga pada masa itu?
Kakek Basoeki adalah kiai yang mendirikan pesantren di Desa Klampok, Kecamatan Godong, setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda. Tapi kemudian masuk Kristen, dan semua anggota keluarga dan santrinya juga masuk Kristen.
Salah satu anak kakek Basoeki tinggal di Tempurung, dialah ayah dari Basoeki. Tempurung, Kaliceret, dan Wolo lokasinya berdekatan di wilayah barat – barat daya Kabupaten Grobogan, tak jauh pula dari stasiun kereta api yang dibangun oleh Belanda.
Stasiun Tanggung berjarak sekitar 7,5 kilometer dengan Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) Kaliceret, Desa Mrisi, Kecamatan Tanggungharjo. GKJTU Kaliceret berjarak 17 kilometer dengan GKJTU Sinai Tempurung di Desa Tlogomulyo, Gubug.
GKJTU Tempurung dengan GKJTU Wolo di Kecataman Godong berjarak sekitar 31 kilometer. GKJTU Wolo berjarak sekitar 8,2 kilometer dengan Stasiun Godong dan berjarak sekitar 12 kilometer dengan Stasiun Sedadi di Kecataman Penawangan.
Belanda mulai mengoperasikan Stasiun Tanggung pada 1867 untuk menghubungkan Semarang dengan Solo. Gereja Kaliceret ada 31 tahun setelah Stasiun Tanggung beroperasi, tepatnya pada 1898.
Stasiun Godong beroperasi mulai 1888, menghubungkan Semarang dengan Purwodadi. Sedangkan Stasiun Sedadi menghubungkan Semarang dengan Surabaya, melewati Stasiun Gambringan di sebelah selatan Purwodadi dan Stasiun Kradenan di sebelah timur Purwodadi.
Meski berada di engah hutan, Kaliceret menjadi ramai karena menjadi perlintasan kereta Semarang-Solo. Pada masa pendudukan Jepang, pemuda-pemuda Belanda yang menjadi interniran di Semarang, mengambil kayu bakar dari Kaliceret.
Kaliceret dengan Salatiga hanya berjarak sekitar 15 kilometer. Di Salatiga ada persil Nyemoh, tempat Reijer de Boer, penyebar Injil Zending Salatiga.
Kolportir pembantu De Boer-lah yang membuat kakek Basoeki Probowinoto akhirnya masuk Kristen. Kakek Basoeki bertemu dengan kolportir itu di warung kopi saat pergi ke Cirebon.
Basoeki sejak 1941 diangkat menjadi vikaris di Kwitang Jakarta, lalu diangkat menjadi pendeta pada 1943. Tugas dia saat itu agar tidak ada dua gereja Kristen Jawa di Kwitang, yaitu GKJTU dan Gereja Kristen Jawa Tengah Selatan (GKJTS).
Di Jawa Tengah, Salatiga berada di wilayah selatan, sehingga gerejanya adalah GKJTS. Tapi wilayah kerja Zending Salatiga sampai juga ke utara, membangun GKJTU.
Lantas mengapa wilayah Grobogan menjadi daerah yang menarik untuk program Kristenisasi oleh Zending Salatiga? “Panennya besar, tapi pekerjanya sedikit,” tulis Taberi Wirjowasito, pendeta di Purwodadi di HetZendingsblad edisi 1954, nomor khusus mengenai Purwodadi.
Rupanya, menurut Pendeta Taberi .... (lihat halaman selanjutnya)
Rupanya, menurut Pendeta Taberi Wirjowasito, Grobogan dianggap sebagai wilayah yang potensial untuk pekabaran Injil, tapi orang Kristen yang menjadi pekabar Injil masih sedikit. Tinggal di wilayah tanah kapur, kehidupan masyarakat Grobogan dikenal sangat miskin.
Maka, penyediaan fasilitas kesehatan dan sekolah menjadi salah satu alat untuk Kristenisasi oleh Zending Salatiga, dimulai dari Kaliceret. Balai kesehatan di Kaliceret kemudian dipindah ke Purwodadi, menjadi rumah sakit.
Ibu Basoeki, Rokajah, menjadi salah satu bidan di rumah sakit Kristen di Purwodadi itu. Rokajah pindah ke Purwodadi setelah Mateus, suaminya, meninggal pada 1921. Mateus semula bernama Rahmat anak dari kiai di Desa Klampok yang masuk Kristen
Ketika memimpin Sinode Gerja Kristen Jawa (GKJ), Basoeki mendirikan Yayasan Rumah Sakit Kristen pada 1950. Pada 1964 diubah menjadi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum).
Yayasan itulah yang kemudian mengambil alih pengelolaan rumah-rumah sakit Kristen. Rumah-rumah sakit itu semula dikelola oleh lembaga zending, tetapi ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, orang-orang Belanda meninggalkan Indonesia.
Sebelumnya, kalangan zending juga sudah tidak berkutik ketika Jepang berkuasa di Jawa. Menurut Basoeki Purbowinoto di buku Ikrar & Ikhitar dalam Hidup Pdt Basoeki Probowinoto, gereja-gereja diambil alih oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Akibatnya, banyak pekerja pekabaran Injil yang tidak lagi mendapat gaji dari lembaga zending.
Ma Roejan