Sabtu 28 Dec 2024 02:36 WIB

Mahasiswa Tolak Kenaikan PPN 12 Persen, Ancaman Baru Kaum Menengah

PPN 12 persen dinilai memberatkan rakyat.

Massa dari BEM SI Kerakyatan menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (26/12/2024). Dalam aksinya, mahasiswa menuntut pemerintah untuk membatalkan kebijakan kenaikan PPN 12 persen yang akan berlaku pada Januari 2025 mendatang. Massa aksi menilai kebijakan kenaikan PPN 12 persen tersebut akan merugikan masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa dari BEM SI Kerakyatan menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (26/12/2024). Dalam aksinya, mahasiswa menuntut pemerintah untuk membatalkan kebijakan kenaikan PPN 12 persen yang akan berlaku pada Januari 2025 mendatang. Massa aksi menilai kebijakan kenaikan PPN 12 persen tersebut akan merugikan masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persebyang akan berlaku pada 1 Januari 2025 menuai gelombang kritik dari berbagai kalangan. Di DKI Jakarta, mahasiswa dari bernagai organisasi turun ke jalan memprotes kebijakan tersebu. Pun Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Pamekasan. 

Ketua umum PC PMII Pamekasan, Homaidi mengatakan, kenaikan PPN 12 memberatkan masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Ini juga berpotensi memperburuk perekonomian nasional.

Sejumlah ekonom menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN 12 persendapat menambah pengeluaran rumah tangga kelas menengah hingga Rp 354.000 per bulan atau lebih dari Rp 4 juta per tahun. 

"Beban ini dinilai berat, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi," kata Homaidi dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (27/12/2024).

Homaidi juga menyoroti dampak lain yang diantisipasi, yakni kenaikan harga barang dan jasa hingga 5 persen yang diprediksi akan memicu inflasi. Kenaikan ini berisiko menekan daya beli masyarakat terhadap barang nonesensial dan menurunkan omzet pelaku UMKM, sektor yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. 

"Jika daya beli terus melemah, sektor usaha yang bergantung pada konsumsi domestik pun terancam mengalami penurunan kinerja, sehingga memicu potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya angka pengangguran," terangnya.

Homaidi menegaskan, kenaikan tarif PPN tidak hanya menambah beban bagi masyarakat luas, tetapi juga membahayakan kelangsungan UMKM.

“Kebijakan ini tidak lagi bijak di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Kami mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang rencana tersebut dengan mempertimbangkan dampak sistemiknya, yang berpotensi memperburuk kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi,” tegasnya.

Ia berharap pemerintah membatalkan keputusan tersebut. Pemerintah seharusnya fokus pada kebijakan yang mendukung pemulihan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat, katanya. 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement