Rabu 01 Jan 2025 20:00 WIB

Kenaikan PPN Untuk Barang Mewah Tak Bisa Kerek Pendapatan Negara

Tambahan penerimaan dari kebijakan ini hanya berkisar antara Rp1,5 hingga Rp3 triliun

Rep: Dian Fath/ Red: Intan Pratiwi
Massa dari BEM SI Kerakyatan menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (26/12/2024). Dalam aksinya, mahasiswa menuntut pemerintah untuk membatalkan kebijakan kenaikan PPN 12 persen yang akan berlaku pada Januari 2025 mendatang. Massa aksi menilai kebijakan kenaikan PPN 12 persen tersebut akan merugikan masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa dari BEM SI Kerakyatan menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (26/12/2024). Dalam aksinya, mahasiswa menuntut pemerintah untuk membatalkan kebijakan kenaikan PPN 12 persen yang akan berlaku pada Januari 2025 mendatang. Massa aksi menilai kebijakan kenaikan PPN 12 persen tersebut akan merugikan masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai keputusan pemerintah yang hanya mengenakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk barang mewah pada 2025 tidak akan memberikan dampak signifikan pada penerimaan negara. Bhima memperkirakan tambahan penerimaan dari kebijakan ini hanya berkisar antara Rp1,5 hingga Rp3 triliun per tahun.

“Estimasi PPN 12 persen untuk barang mewah memang kecil bagi penerimaan negara, hanya kisaran Rp1,5-3 triliun per tahun. Padahal, sebelumnya pemerintah mengharapkan pendapatan sebesar Rp75 triliun,” ujar Bhima kepada Republika, Rabu (1/1/2025).

Meskipun kebijakan ini memberikan angin segar bagi daya beli masyarakat dan ekonomi domestik yang ditopang oleh konsumsi rumah tangga, Bhima menilai kontribusinya terhadap pendapatan negara sangat terbatas. Ia menekankan pentingnya upaya pemerintah untuk mencari sumber pendapatan pajak baru di luar PPN.

Ia pun memberikan beberapa rekomendasi strategi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk memperluas basis penerimaan negara. Pertama, pemerintah dapat mulai merancang pajak kekayaan yang dikenakan pada orang-orang super kaya, dengan estimasi penerimaan sebesar Rp81,6 triliun.

"Pajak ini belum diterapkan di Indonesia, padahal OECD dan G20 sudah mendorong pajak kekayaan,” ujar Bhima.

Selain itu, ia juga menyarankan penerapan pajak karbon yang bisa berjalan tahun ini, dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait pajak karbon untuk sektor industri seperti PLTU batubara. “Pajak karbon ini tidak hanya baik untuk lingkungan, tetapi juga dapat mendukung transisi ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan,” tambahnya.

Selain itu, Bhima mengusulkan agar pajak produksi batubara yang lebih tinggi diterapkan, serta untuk menutup kebocoran pajak di sektor sawit dan tambang yang masih terjadi. Ia juga meminta pemerintah untuk mengevaluasi insentif pajak yang tidak tepat sasaran, seperti pemberian tax holiday kepada perusahaan smelter nikel yang saat ini mencatatkan laba besar.

“Dengan menerapkan kebijakan-kebijakan ini, kita dapat memperkuat sistem perpajakan di Indonesia dan memastikan keadilan fiskal yang lebih baik,” harap Bhima.

Sebagai informasi, pemerintah secara resmi memutuskan bahwa mulai 1 Januari 2025, PPN 12 persen hanya akan dikenakan pada barang-barang mewah, seperti jet pribadi, kapal pesiar, dan properti bernilai tinggi, yang dikonsumsi oleh kalangan atas. Peningkatan tarif PPN ini tidak akan diberlakukan pada barang dan jasa kebutuhan pokok serta barang dan jasa lainnya yang tidak termasuk dalam kategori barang mewah.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement