REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG-- Puluhan dosen dan tenaga kependidikan (Tendik) di salah satu kampus yaitu Universitas Bandung (UB) tak digaji kurun waktu tujuh bulan terakhir sejak tahun 2024. Bahkan kondisi kampus saat ini terancam ditutup akibat berbagai permasalahan yang dihadapinya.
Salah seorang staf operator kampus Universitas Bandung Riki Hardiansyah mengatakan, permasalahan yang dihadapi kampus Universitas Bandung bermula dari penyatuan dua lembaga Politeknik Kesehatan YBA Bandung dengan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Bandung pada tahun 2023. Setelah satu bulan, ia mengatakan tim inspektorat memeriksa dugaan penyalahgunaan dana program Indonesia pintar (PIP) di lembaga STIA.
"Satu bulan bergabung, tim inspektorat turun memeriksa STIA Bandung terkait dana PIP," ujar Riki saat ditemui di kantor Yayasan kampus Universitas Bandung, Senin (6/1/2025).
Hasil dari pemeriksaan, kata dia, terjadi kerugian negara atau korupsi akibat penyalahgunaan dana PIP. Riki mengatakan kejaksaan pun turut menangani masalah itu dan ditetapkan mantan rektor Universitas Bandung sebagai tersangka.
Tiga hari berselang, menurut Riki, tim lembaga layanan pendidikan tinggi (LL Dikti) melakukan evaluasi kinerja akademik terhadap kampus selama enam bulan. Hasilnya, mereka menyatakan kampus berstatus dalam pembinaan.
Selain itu, tiga prodi yang bermasalah yaitu S1 dan S2 administrasi publik serta S1 Bisnis ditutup karena terjadi maladministrasi. LL Dikti menemukan terjadi pembelajaran fiktif dari ketiga prodi tersebut. "Singkatnya maladministrasi, mereka kebanyakan pembelajaran fiktif makanya ditutup tidak bisa membuktikan pembelajaran," katanya.
Akibat masalah yang terjadi tersebut, ia mengatakan berimbas kepada pengelolaan kampus sehari-hari. Beberapa masalah yang muncul seperti gaji dosen dan tendik yang belum dibayar tujuh bulan serta pembelajaran mahasiswa yang tidak maksimal bagi mahasiswa kesehatan. "Yang bermasalah STIA, karena sudah bergabung (jadi UB) maka berdampak ke Politeknik Kesehatan YBA Bandung," kata dia.
Ia menyebut mahasiswa politeknik kesehatan merupakan mahasiswa reguler yang membayar mandiri. Sebelum bergabung dengan STIA, aktivitas kampus berjalan dengan lancar. Namun, setelah merger dilakukan dan harus mendukung yang lain membuat operasional kampus menjadi terhambat. "Karena kalau sekarang dibebani oleh yang lain, jadi terhambat operasional, gaji, perkuliahan mahasiswa," kata Riki.
Ia menyebut telah melakukan audiensi dengan yayasan akan tetapi tidak mendapatkan respons. Pihaknya bersama orangtua mahasiswa meminta agar yayasan melakukan transparansi keuangan dan kedua pengurus yayasan yang saat ini diganti.
Riki mengatakan Selasa (7/1/2025) LL Dikti bakal memanggil pihak yayasan, rektorat, dosen, tendik dan mahasiswa untuk membahas masalah yang dihadapi kampus. Selain itu, pihaknya akan bertemu dengan pihak yayasan tanggal 10 Januari. Apabila tetap tidak bisa bertemu dengan yayasan, ia mengatakan bersama orang tua siswa akan mendatangi rumah ketua yayasan untuk meminta pertanggungjawaban.
Salah seorang orang tua mahasiswa Nuraeni menilai pihak yayasan tidak bertanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi kampus. Akibatnya, dosen, tendik hingga mahasiswa menjadi terkena imbas dan korban. "Tidak ada niat baik. Semoga dibuka hati nurani dari yayasan," kata dia.