REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Temuan awal studi Action Against Stunting Hub (AASH) Indonesia menunjukkan inflamasi sistemik dan infeksi pada saluran cerna berdampak pertumbuhan anak dengan mengganggu hormon pertumbuhan.
Studi juga menemukan bahwa selenium memiliki peran penting dalam pertumbuhan anak, tetapi seringkali tidak cukup diperhatikan dalam intervensi gizi. Selanjutnya, kecepatan pertumbuhan tertinggi anak pada usia tiga bulan (saat ASI eksklusif) dan mulai melambat saat periode pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan mencapai kecepatan paling rendah pada usia 14 bulan.
Peneliti Seameo Recfon dan Ketua Tim Peneliti Komponen Fisik Dr Min Kyaw Htet mengatakan selain studi kohort yang dilakukan di tiga negara (India, Indonesia, dan Senegal), di Indonesia pihaknya memiliki studi kasus kontrol (The Early Year Study) yang membandingkan anak stunted dan anak yang tidak stunted, dan memberikan kesempatan kepada untuk mereplikasi temuan dalam studi kohort.
“Ini merupakan kekuatan dari desain studi AASH di Indonesia,” ujar Dr Min Kyaw Htet dalam siaran pers, Senin (17/2/2025).
Direktur Pelayanan Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr Lovely Daisy mengatakan bahwa target nasional penurunan angka stunting hingga 14 persen pada tahun ini menghadapi tantangan besar. Berdasarkan data tahun 2022-2023, angka stunting hampir mencapai 20 persen di beberapa wilayah, dengan tingkat prevalensi lebih tinggi di beberapa daerah tertentu.
“Intervensi kesehatan telah dilakukan secara lintas sektor untuk mencapai target ini, namun terdapat kendala dalam pemenuhan gizi dan kesehatan ibu serta anak. Intervensi yang telah dilakukan mencakup suplementasi dan fortifikasi makanan, termasuk program Multiple Micronutrient Supplementation (MMS) yang kini telah menjadi bagian dari kebijakan nasional," jelas dr Lovely Daisy.
Program MMS menggantikan pemberian tablet tambah darah (zat besi dan folat) dengan suplemen yang mengandung 15 jenis vitamin dan mineral untuk meningkatkan kesehatan ibu hamil dan mencegah stunting sejak dalam kandungan.
Sebagai langkah strategis, pemerintah terus memperkuat intervensi berbasis bukti melalui survei gizi nasional serta memprioritaskan daerah dengan tingkat prevalensi stunting tertinggi.
"Kami akan terus menguatkan program kesehatan ibu dan anak, memastikan akses terhadap suplemen gizi yang memadai, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang dan imunisasi," kata dr Lovely Daisy.
Sebelumnya, pada Kamis (13/2/2025) dilakukan diseminasi temuan awal studi AASH dan diskusi kebijakan percepatan penurunan stunting yang dipandu Rektor Universitas YARSI Prof Fasli Jalal. Diseminasi hasil temuan awal tersebut dibuka oleh Direktur Seameo Recfon dr Herqutanto, Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Universitas Indonesia Prof Hamdi Muluk, dan Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum.
Studi AASH yang didanai oleh United Kingdom Research and Innovation-Global Challenges Research Fund (UKRI-GCRF) bertujuan untuk mempercepat upaya penurunan stunting melalui pendekatan anak secara utuh (Whole Child Approach). Studi itu dilakukan pada tahun 2019 hingga 2024 di tiga negara (India, Indonesia, Senegal), dengan Lombok Timur terpilih sebagai lokasi studi di Indonesia. AASH Indonesia dikoordinasikan oleh SEAMEO Regional Center for Food and Nutrition (RECFON) – Pusat Kajian Gizi Regional Universitas Indonesia (PKGR UI) dengan Country Lead Dr. Umi Fahmida, peneliti senior SEAMEO RECFON yang juga dosen Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Studi AASH mengadopsi pendekatan holistik yang fokus pada pendekatan anak secara menyeluruh. Penelitian itu merancang intervensi yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi, dan mengembalikan beberapa karakteristik utama dari stunting. Pendekatan yang menyeluruh tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari aspek fisik (gizi, kesehatan saluran cerna, epigenetik, mikrobiom, parasit), lingkungan tempat tinggal (pola makan, perilaku), hingga pendidikan (kognisi, perkembangan anak usia dini, pengasuhan), serta sistem pangan yang lebih luas (rantai nilai pangan, keamanan pangan, dan lingkungan pangan). Semua domain tersebut terhubung oleh nilai-nilai sosial yang secara langsung mempengaruhi pengalaman hidup anak.