REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) tak mau berdebat istilah terkait ‘blending’ atau ‘oplosan’ terkait penyidikan korupsi minyak mentah dan produk kilang yang dilakukan para tersangka dari kalangan pejabat-pejabat di PT Pertamina Patra Niaga.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, blending atau oplosan hanya salah-satu dari berbagai ragam tindak pidana yang ditemukan dalam pengusutan kasus korupsi yang merugikan keungan negara sekira Rp 193,7 triliun sepanjang 2018-2023 tersebut.
“Keterangan misalnya tentang bagaimana proses blending, apakah itu oplosan dan seterusnya, itu sangat teknis sekali,” ujar Harli di Kejagung, Jakarta, Kamis (27/2/2025).
Akan tetapi, kata Harli menegaskan, fakta-fakta hukum yang ditemukan tim penyidikan di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) ada beragam tindak pidana dalam proses ekspor-impor minyak mentah, dan produk kilang yang dilakukan anak-anak perusahaan PT Pertamina tersebut.
“Tetapi yang mau kami (kejaksaan) sampaikan, adalah ada kejahatan-kejahatan membayar, mengeluarkan uang negara terhadap pembayaran yang lebih tinggi dari barang yang lebih murah,” kata Harli.

Selain itu, kata Harli, juga ada terjadinya tindak pidana lainnya berupa kesalahan yang disengaja dalam proses serta tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina tersebut. Ia menerangkan, salah-satu tindak kejahatan yang ditemukan penyidik di Jampidsus terkait dengan pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM) RON 92 oleh Pertamina Patra Niaga.
Ada fakta hukum yang sudah menjerat tersangka Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama (Dirut) Pertamina Patra Niaga. Yaitu berupa pembayaran yang dilakukan oleh RS atas harga BBM RON 92 impor. Akan tetapi jenis BBM yang didatangkan adalah RON 88 atau RON 90.
“Bahwa RS selaku Dirut PT PPN (Pertamina Patra Niaga) membayar berdasarkan pricelist-nya itu RON 92. Berarti kalau RON 92, itu kan kualitasnya Pertamax. Tetapi ternyata di kontrak barang yang datang itu, RON 88 atau RON 90. RON 88 itu Premium. Kemudian RON 90 itu Pertalite,” ujar Harli.
Selanjutnya, kata Harli, dari fakta hukum tersebut, memunculkan temuan lainnya dari hasil penelusuran dan penyidikan. Yaitu, berupa BBM RON 88 dan RON 90 yang didatangkan melalui impor tersebut, ditempatkan di terminal bahan bakar PT Orbit Terminal Merak (OTM) di Cilegon, Banten.
Perusahaan tersebut merupakan milik para broker yakni tersangka M Kerry Andrianto Riza (MKAR) alias Kerry dan tersangka Gading Ramadhan Joedo (GRJ). Di terminal bahan bakar swasta tersebut dilakukan pengolahan yang selama ini diributkan antara ‘di-blending’ atau ‘dioplos’.
Menurut penyidik, kata Harli proses tersebut, pun cacat hukum. “Karena kalau melakukan ‘blending’ itu, juga tidak boleh dilakukan selain oleh PT KPI (Kilang Pertamina Internasional). Kilang Pertamina Internasional itu yang harus melakukan ‘blending’ itu,” ujar Harli.