RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt. Kita kembali memasuki bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak —di sela lapar dan dahaga— untuk menyelami makna tersembunyi di balik perintah puasa dalam al-Qur'an? Perintah ini disebut dengan kata kerja pasif dalam bahasa Arab: kutiba, yang secara harfiah berarti "telah ditulis."
Ditulis oleh siapa? Ayat 183 dari surah al-Baqarah itu sendiri tidak menyebutkan jawabannya.
Di tengah deretan rukun Islam yang ibarat daftar belanjaan surgawi, puasa hadir bukan hanya sebagai kewajiban, melainkan juga sebagai undangan misterius ke sebuah pesta spiritual.
"Tulisan" perintahnya bukan baru dicetak kemarin, tetapi sudah lama tertulis dalam tinta ilahi, menjadi bagian dari sejarah panjang umat manusia.
Mari kita telusuri lebih jauh rahasia di balik kata pasif kutiba, sebagaimana disebutkan dalam ayat 183 surah al-Baqarah.
Siapa sangka, sebuah kata pasif sederhana — kutiba — menjadi bintang utama dalam perintah puasa Ramadhan. Ia muncul di awal ayat, menegaskan keharusan yang tak terbantahkan.
Bukankah menarik ketika perintah ini tersaji seolah-olah tanpa subjek yang jelas? Seakan-akan Allah Swt. bersembunyi di balik layar, seolah berkata: "Aku? Ada di sini, tetapi tak perlu kalian tanyakan. Fokus saja pada perintahnya."
Dengan gaya yang mirip pengiriman pesan zaman now —singkat, padat, dan penuh makna— Allah Swt menyampaikan bahwa puasa adalah kewajiban, tanpa perlu embel-embel identitas langsung.
Satu kata saja sudah cukup untuk menegaskan otoritas-Nya. Menariknya, dalam satu ayat itu, kata kutiba muncul dua kali, layaknya "double tap" di media sosial agar pesannya semakin mengena.
Bayangkan, puasa itu ibarat diet spiritual yang tak hanya membuat perut kosong, tetapi juga mengasah jiwa. Ia adalah semacam "detoks rohani" yang diresepkan langsung dari dapur langit.
Dengan menahan diri dari makan dan minum, para pejuang puasa tidak hanya merasakan lapar, tetapi juga memperoleh "menu khusus": renungan mendalam, peningkatan kesadaran diri, kepedulian, dan dosis pahala yang terjamin.
Kata kutiba pun mengingatkan kita bahwa puasa bukan eksperimen baru atau tren kekinian. Ini adalah resep turun-temurun yang sudah teruji oleh waktu, bahkan sebelum ada influencer digital yang membuat konten tentang tantangan puasa di Instagram. Ucapan-ucapan "Selamat berpuasa Ramadhan" yang bertebaran di jagat media sosial hanya menegaskan kembali keabadian perintah ini.
Namun, di balik keanggunan kata _kutiba_, terselip pula pertanyaan kritis: Jika puasa sudah tertulis sejak zaman dahulu, apakah kita masih memahami esensi dan relevansinya dalam konteks zaman ini? Seperti sistem operasi yang perlu diperbarui, mungkin kita pun perlu merefleksikan pemahaman kita tentang puasa agar tetap segar dan bermakna di era modern.
Perintah ini tidak sekadar meminta kita menahan lapar, tetapi juga menahan diri dari kemalasan berpikir dan keengganan merefleksi makna keimanan dalam kehidupan sehari-hari.
Kritik dan humor, jika disalurkan dengan konstruktif, justru dapat membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang bagaimana puasa bisa tetap menjadi pengalaman spiritual yang relevan di tengah kemajuan teknologi dan perubahan budaya.
Jadi, puasa Ramadhan bukan sekadar soal perut kosong, melainkan juga tentang jiwa yang lapar akan kebenaran dan kepedulian.
Kata kutiba—dengan kemisteriusan bahasa pasifnya— mengajarkan bahwa perintah ilahi tidak datang melalui promosi atau iklan megah, melainkan melalui kebijaksanaan yang telah tertulis sejak dahulu kala.
Di balik keseriusan ibadah puasa, sesekali kita bisa menyelipkan canda tawa, mengingatkan bahwa refleksi diri dan humor bisa berjalan beriringan dalam kehidupan beragama.
Jadi, sambil menahan lapar dan dahaga, mari kita juga menyantap secuil tawa, bertanya, dan terus belajar. Karena di situlah letak keindahan sejati dari ibadah puasa yang perintahnya telah lama tertulis —yang telah kutiba sejak zaman purba. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 1/3/2025