REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang musafir yang mengadakan perjalanan pada siang hari bulan Ramadhan umumnya menghadapi pilihan. Apakah dia tetap berpuasa ataukah membatalkannya?
Terkait ini, Syekh Yusuf Al-Qardhawi menguraikan pandangannya melalui buku Fiqh al-Shiyam (edisi bahasa Indonesia: Tirulah Puasa Nabi: Resep Ilahi agar Sehat Ruhani-Jasmani).
Allah SWT menetapkan hukum-Nya tentang ini pada Alquran, yakni berturut-turut dalam surah al-Baqarah ayat ke-184 dan 185. Intinya, ada keringanan (rukhsah) bagi mereka yang bepergian.
Tentunya, perjalanan yang ditempuh itu dilakukan bukan dalam rangka kemaksiatan. Adapun beberapa contoh safar yang termasuk mendapatkan rukhsah ini ialah pulang ke kampung halaman atau mudik untuk menyambung silaturahim.
Bentuk rukhsah itu ialah boleh berbuka puasa. Apabila memilih berbuka puasa, pelakunya diharuskan mengganti puasanya itu pada hari lain di luar Ramadhan.
Beberapa hadis Nabi Muhammad SAW juga memberi petunjuk soal ini. Dalam riwayat Muslim disebutkan, Hamzah suatu kali bertanya, "Wahai Rasulullah, saya sanggup melaksanakan puasa dalam perjalanan. Apakah itu suatu pelanggaran?"
"Itu keringanan dari Allah, barangsiapa mengambilnya, maka itu lebih baik, dan jika ingin tetap berpuasa, bukanlah pelanggaran," jawab beliau.
"Inilah dalil yang paling kuat atas keutamaan berbuka (bagi pelaku safar di bulan Ramadhan --Red)," tulis Syekh Yusuf Al-Qardhawi.
Mungkin akan timbul pertanyaan. Bukankah perjalanan pada era kini lebih mudah dan nyaman? Apalagi, perkembangan teknologi transportasi sedemikian pesatnya sehingga kini kita "hanya" perlu duduk manis di dalam kendaraan yang berkecepatan tinggi---semisal kereta api atau pesawat terbang?
Terkait ini, Syekh al-Qardhawi mengutip pandangan Ibnu Taimiyah: "Walaupun seorang musafir berada dalam kenyamanan, boleh baginya berbuka dan meng-qashar shalat."
View this post on Instagram