REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira meminta pemerintah untuk memitigasi potensi perlambatan ekonomi saat Ramadhan. Saat dihubungi di Jakarta, Senin (3/3/2025), Bhima mengatakan aktivitas ekonomi saat Ramadhan kali ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor, di antaranya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya, efisiensi belanja pemerintah, efektivitas insentif, tantangan aktivitas ekspor-impor, hingga inflasi yang terbilang rendah.
PHK memicu tekanan dari sisi pendapatan, sehingga masyarakat yang terdampak kehilangan kemampuan belanja. Sama halnya, efisiensi belanja pemerintah juga mempengaruhi kemampuan belanja.
Di sisi lain, aktivitas ekonomi pelaku usaha juga turut terdampak. Pasalnya, efisiensi belanja pemerintah menyasar aktivitas yang bisa mengurangi permintaan pada sejumlah sektor, seperti akomodasi, perhotelan, restoran, hingga sewa kendaraan. Menurunnya permintaan ini disebut juga akan mempengaruhi pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada saat Ramadhan dan Lebaran.
Menurut dia lagi, rendahnya inflasi pun turut memperkuat indikasi lemahnya sisi permintaan. Untuk diketahui, ekonomi Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,09 persen (year-on-year/yoy) pada Februari 2025. Deflasi secara tahunan ini merupakan yang pertama sejak Maret 2000.
Selanjutnya, aktivitas ekspor-impor juga dinilai masih menantang akibat adanya perang dagang. Bhima berpendapat, tantangan ini akan mendorong kelompok menengah ke atas untuk memilih menyimpan tabungan alih-alih membelanjakan uang mereka. Bhima pun menyoroti efektivitas insentif yang digelontorkan oleh pemerintah, salah satunya insentif pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 6 persen pada pembelian tiket pesawat selama periode mudik Lebaran.
Meski pemerintah menghitung insentif itu bisa menurunkan harga tiket pesawat hingga 13-14 persen, namun menurut Bhima, dampak keuntungannya relatif kecil mengingat harga tiket pesawat cenderung lebih mahal pada periode tersebut dibandingkan ketika hari biasa. “Pemudik, terutama yang lintas pulau, juga sudah melakukan pembelian tiket penerbangan 1 bulan sebelumnya untuk mendapatkan harga yang lebih murah,” kata dia lagi.
Selain itu, berakhirnya diskon listrik pada akhir Februari lalu, juga diperkirakan akan mendorong masyarakat untuk menahan belanja dan mengalihkan dana ke tabungan. Suntikan dari tunjangan hari raya (THR) pun dianggap belum cukup kuat untuk memitigasi dampak dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.
“Artinya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 diperkirakan akan rendah ya, meski ada Ramadhan dan Lebaran, tapi sulit berada di angka 5 persen,” ujarnya pula.
Menimbang berbagai kemungkinan itu, Bhima meminta pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan, termasuk efisiensi belanja dan dukungan terhadap industri padat karya. “Efisiensi belanja jangan mengarah pada gangguan layanan publik yang esensial dan belanja penting, atau disebut dengan austerity measures. Pulihkan sektor industri padat karya, jangan hanya fokus menarik investasi baru yang butuh waktu,” kata Bhima lagi.