Senin 02 Jun 2025 19:12 WIB

Deflasi Mei 0,37 Persen, Daya Beli Dinilai Masih Lemah

Tekanan terhadap ekonomi juga tampak dari sisi eksternal.

Pedagang sembako melayani pembeli di Pasar Palmerah, Jakarta, Selasa (11/6/2024).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang sembako melayani pembeli di Pasar Palmerah, Jakarta, Selasa (11/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Deflasi sebesar 0,37 persen secara bulanan (month-to-month) pada Mei 2025 mengindikasikan lemahnya daya beli masyarakat usai Lebaran. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut kondisi ini mencerminkan pemulihan ekonomi yang belum merata, terutama pada kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Hal ini dapat diasosiasikan dengan daya beli masyarakat yang belum pulih pasca-Lebaran dan belum meratanya efek pertumbuhan ekonomi di berbagai lapisan. Walaupun inflasi inti masih tumbuh 2,4 persen yoy, level ini tetap mencerminkan kondisi permintaan domestik yang belum sepenuhnya ekspansif,” ujar Josua, Senin (2/6/2025).

Baca Juga

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) turun dari 108,47 pada April menjadi 108,07 pada Mei. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang utama deflasi dengan penurunan 1,40 persen (mtm) dan andil sebesar 0,41 persen terhadap deflasi umum.

Beberapa komoditas yang mengalami koreksi harga terbesar antara lain cabai merah dan cabai rawit, masing-masing menyumbang deflasi 0,12 persen, serta bawang merah sebesar 0,09 persen. Penurunan harga ini sejalan dengan prediksi sebelumnya bahwa harga pangan strategis akan terkoreksi usai puncak Ramadan dan Idul Fitri.

Di sisi lain, BPS juga mencatat inflasi tahunan untuk kelompok informasi dan komunikasi tercatat negatif sebesar 0,28 persen, sementara inflasi inti tumbuh stagnan di angka 2,4 persen (yoy).

“Oleh karena itu, tekanan deflasi ini bersifat mixed, disebabkan oleh kuatnya sisi suplai di tengah distribusi logistik yang membaik, serta lemahnya permintaan masyarakat akibat tertahannya daya beli, terutama di kelompok kelas menengah ke bawah yang belum banyak mendapat dukungan fiskal baru,” jelas Josua.

Ia menambahkan tekanan terhadap ekonomi juga tampak dari sisi eksternal. Surplus neraca perdagangan April hanya mencapai 160 juta dolar AS, jauh di bawah ekspektasi pasar.

Meski ekspor tumbuh 5,76 persen (yoy), lonjakan impor sebesar 21,84 persen (yoy) terutama pada logam mulia dan perhiasan yang naik drastis 253,6 persen, mempersempit surplus perdagangan. Menurut Josua, peningkatan impor logam mulia kemungkinan besar terkait akumulasi cadangan emas di tengah ketidakpastian global dan potensi tarif dagang balasan dari AS di bawah kepemimpinan Donald Trump.

“Ekspor beberapa komoditas utama seperti bahan bakar mineral (batu bara) dan logam mulia justru turun, masing-masing 18,5 persen dan 7,85 persen, yang mempersempit peluang surplus lebih tinggi,” ujarnya.

Ia menilai meskipun industri pengolahan dan pertanian menunjukkan pertumbuhan yang kuat, ketergantungan terhadap ekspor komoditas mentah dan volatilitas harga global membuat neraca dagang Indonesia semakin rentan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement